[artikel] Kenangan Seorang Adik atas Abang Tercinta

Jumat, 24 April 2009

Ahmad Nawawy (Bang Nawi), Adik Ustadz Rahmat Abdullah.

Kenangan Seorang Adik atas Abang Tercinta

Di antara orang yang sangat merasakah sentuhan Ustadz Rahmat, adalah adiknya sendiri, Ahmad Nawawy. Ia yang lahir tiga tahun setelah Ustadz Rahmat, benar-benar punya kenangan sangat mendalam dengan sang kakak yang selalu ia panggil Bang Mamak. Setelah ayah mereka tiada, Ustadz Rahmatlah yang menggantikan perannya sebagai ayah, sekaligus sebagai abang.

Kala itu, Nawawy kecil sudah terseret ke dalam kebiasaan minum minuman keras. Ia bahkan keluar SD sebelum sempat menamatkannya. "Saya ini bandel sejak kecil. Saya terjerumus ke miras sejak tahun 1973, berapa tahun setelah keluar dari SD di kelas empat. Terjerumusnya itu karena lingkungan, ingin nyoba-nyoba. Waktu itu anggur kolesom. Setelah itu minum arak. Jarang yang kuat, bahkan teman-teman itu suka dengan arak karena kadar alkoholnya 32 %, kalau anggur kolesom itu hanya 12 %," cerita Nawawy.

Dalam kurun yang tak singkat itu, ustadz Rahmat tidak pernah henti-hentinya berusaha, mengajak, menasehati dengan caranya yang penuh kasih, bersahabat, dan satu lagi, tidak pernah bosan. Ia ingin agar adiknya yang sangat dicintainya, benar-benar keluar dari semua jalan yang sangat dibencinya itu.

Ustadz Rahmat biasanya mengajak Nawawy yang tengah mabuk untuk pergi. Nawawy sendiri tidak pernah bisa menolak. Ia mengakui bahwa kala itu tak ada seorang pun yang bisa menghalangi ulahnya. Bahkan encingnya pun dilawan. "Saya selalu bilang, uang yang saya pakai kan uang saya, yang minum juga saya," kata Nawawy. Tapi kalau sudah didatangi Ustadz Rahmat. Ia merasa seperti dihipnotis. Ia pun naik ke atas motor tuanya.

Setelah itu Ustadz Rahmat membawanya jalan. Kadang ke Taman Ismail Marzuki (TIM). "Kalau mau pelarian, ke sini pelariannya. Ada drama, ada banyak lagi yang positif," nasehat Ustadz Rahmat kepadanya. Kadang ia juga dibawa ke Cikoko, ke tempat sebuah padepokan silat. Tidak berhenti sampai di situ, untuk menghindarkan pergaulan Nawawy dengan lingkungan, ustadz Rahmat memasukkannya ke kursus Pusgrafin (Pusat Grafika Indonesia). "Waktu itu namanya PGI, saya kursus beberapa bulan," kenang Nawawy.

Pernah suatu hari Nawawy menampar anak tetangga. Kakak ipar anak itu marah. Karena lebih besar dan tidak bisa melawan, akhirnya Nawawy mengambil pisau dan menunggu di depan rumahnya. "Setelah ustadz datang, ia menarik saya pulang. Saya pun menurut begitu saja."

Nawawy juga mengisahkan kejadian lain, "Saya pernah gebukin tiga orang di RT4/4. Tak lama saya diajak pulang ustadz. Katanya, ‘Luka tamparan kamu itu besok juga hilang tapi hatinya tidak bisa. Meskipun kamu minta maaf mungkin di depan dimaafin karena takut, tapi hati sangat membekas lukanya. Itu minta amal kamu di akherat, itupun kalau amalnya banyak.’ Ini kata-kata yang sangat membekas hingga saat ini."

Semua drama-drama hidup itu masih harus dijalani dengan segala upaya untuk bisa mencari nafkah. Di antaranya, melalui usaha sablon. Sebelumya, ayah mereka mewariskan usaha mesin cetak Hand-Press. Tetapi kemudian, mereka ingin menjalankan usaha sablon. Waktu itu masih langka. "Buku tentang sablon itu diterjemahkan ustaz Rahmat. Bukunya berbahasa Inggris. Belum ada terjemahannya. Karena kita ingin bisa nyablon maka dibelilah buku itu di Senen, Gunung Agung. Dan biasanya kita setelah buku ini diterjemahkan."

Usaha itu mereka namakan ARACO (Abdullah, Rahmah/Rahmat/Rahmi Company). Ustadz Rahmat lah yang biasa mencari order. Kesibukan baru mulai mengisi hari-hari Nawawy. Tapi pergulatan batin belum usai.

Kecintaan Ustadz Rahmat kepada adiknya tak pernah pupus. Meski getir, ia tetap mencintainya sepenuh hati, lebih dari sekadar cinta seorang kakak, tapi cinta seorang yang punya keyakinan, bahwa ia harus berbagi jalan yang sama dengan saudara kandungnya: jalan orang-orang beriman.

Makanya, segala cara ia lakukan. Termasuk menuliskan surat khusus, melalui pos, yang ia kirim dari Tebet, saat ia tinggal di daerah sana untuk sebuah keperluan.

Jakarta, 19 Rabi’ul Awwal 1399 H
16 Februari 1979 M
Kehadapan
Saudaraku A. Nawawy
Di
Jakarta

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Adalah kenyatan yang tidak bisa diingkari bahwa sampai hari ini seakan kita hidup sendiri-sendiri, jauh dan asing. Tak usah saya katakan apa yang menyebabkan kenyataan ini, tetapi bagaimanapun saya yakin bahwa antara kita masih ada ikatan betapapun lemahnya ikatan itu sekarang. Dan saya percaya tentu kau masih mengakui saya. ini salah seorang saudaramu, orang yang dekat dengan hatimu, seperti juga halnya kau menduduki tempat tersendiri dalam hatiku. Hanya sayang kita seperti orang-orang bisu, saya tak mampu mengungkapkan perasaan saya, betapapun perhatian saya untuk kemajuanmu, betapapun maklum saya terhadap minatmu untuk maju, betapapun ujian hidup yang kau hadapi.

Saya katakan bahwa saya adalah manusia juga. Dengan segala kelemahan, dengan segala kealpaan. Orang mungkin menuduh saya tak memperhatikan perkembangan keluarga, khususnya kau, adikku, tetapi saya menolak tuduhan itu. Iya, betapa lemahnya alasan saya. Semua itu tiada lain sebabnya kecuali karena saya hidup bagaikan dalam penjara, dalam belenggu yang mengikat sangat keras. Kekhayalan, cita-cita, ide baik dan saran-saran terbang pergi begitu saja, tanpa saya melahirkannya dalam bentuk kata-kata, apalagi dalam kenyataan.

Saya ingin kau memahami ini semua. Saya ingin kau memaafkanku yang sampai hari ini belum menunaikan kewajibanku kepadamu. Dan saya ingin kau melihat diriku sebagai orang yang sama-sama punya problem, punya persoalan, punya rasa sedih dan gembira, harapan, kekhawatiran dan berbagai rasa fitrah manusia. Dan dengan itu pula kuharap kau mau membagi duka. Bersama-sama memecahkan persoalan apa kiranya yang sedang kau hadapi, tanpa mencari sendiri, menanggungkannya dan melarikannya dengan caramu sendiri. Sebelum ini saya berada di puncak kebingungan, saya tak tahu apa yang harus kulakukan, apa yang harus kutuliskan, sementara jam terus berputaran mengurangi usia, kosong tanpa hasil apa-apa, selain kegetiran hidup, kepedihan yang menusuk hati. Suatu kekhawatiran yang tak tahu saya bagaimana bentuknya dan terhadap apa, telah merasuki jiwaku. Dia mengikutiku, kemana pergi, menggelisahkanku, mengejar-ngejar dan menuntut, menggugat suatu tanggung jawab. Saya tak mampu menggambarkan lebih jelas apa bentuk kekhawatiran itu. Saya Cuma bisa menghubungkan kekhawatiran itu pada dirimu, saya takut sesuatu menimpamu, menyusahkanmu dan merenggutmu.

Marilah kita menarik pelajaran dari masa lalu, menarik manfaat, mensyukuri kenyataan baiknya dan menghindari kenyataan ruginya agar tak terulang lagi. Saya yakin betapapun jauhnya kita selama ini, namun kau tentu tak menutup pintu untuk satu dua patah kata dariku sebagai tanda bahwa saya masih punya hati untuk memahami dan menghayati perasaan orang lain.

Ada sesuatu dalam diri kita yang sangat penting dan besar nilainya, yang sekalipun kita berdusta kepada dunia, namun tak bisa berdusta kepada-Nya. Itulah nurani, bashirah. Allah memberikan kita bashirah dan memberikan penjaga bashirah itu, yaitu iman. Dialah yang mampu membendung bisik-bisik selintas dari nafsu angkara. Sayang banyak orang menodai nuraninya sendiri, hingga suram dan tak bisa melihat lagi:

"Sesungguhnya mata (lahir) mereka tiada buta, tetapi hati yang dalam dada merekalah yang buta...." (Surat Al Hajj, XXII, ayat 46)

Marilah kita dengan sekuat kemampuan berkorban, baik waktu, perasaan, tenaga dan apa yang dapat kita korbankan demi hidupnya nurani, demi hidup yang lebih layak. Saya pikir adalah bijaksana bila saya menyerahkan kepadamu untuk mencari dan menyelidiki sendiri apa yang sedang saya rasakan tentang dirimu. Saya tak mampu menggambarkan, karena soal itu sangat abstrak, samar dan terjadi semata karena getaran perasaan halusku. Semoga baik baik sajalah hendaknya. Semoga kekhawatiran itu Cuma angan-angan, bukan kenyataan. Sekali lagi kukatakan, kau lebih tahu apa yang sedang kau hadapi, apa yang sedang menimpamu, dan apa kata hati nuranimu, selama hati nurani itu tidak disuramkan putus asa dan apatis, serta kekerasan hati.....

"Tetapi, manusia itu ada nurani (bashirah) dalam dirinya, betapapun dia melontarkan alasan-alasannya. " (Surat Qiyamah -LXXV- ayat 14-15)

Semoga kata-kataku mendapat tempat di hatimu. Kuharap kau jangan kecewa atas segala sikapku. Aku selalu membuka kemungkinan untukmu. Maafkan daku atas segala kealpaanku. Terimalah kebenaran darimanapun datangnya. Terima kasih, sampai jumpa.
Salamku,

Rahmat Rahmat Abdullah

Surat itu begitu membekas. "Ketika saya terima surat itu, saya menangis. Ayah sudah tidak ada, dan ustadz itulah sebagai ayah. Kata-kata dalam surat itu yang terkesan sekali. Saya tidak bisa lupa, ketika ia mengutip ayat Allah, ‘Bahwa manusia itu punya bashirah, meski ia menguraikan alasan-alasannya,’" kata Nawawy. Tak berlebihan, bila surat itu ia beri tanda jam berapa ia terima: pukul 13.30.

Beberapa bulan kemudian, Ustadz Rahmat kembali menulis surat, menuangkan segala perasaan hatinya tentang adiknya. Cinta, harap, cemas, dan segala yang teraduk-aduk tertumpah di sana. Dengan pengantar yang sangat menyentuh, ia kirimkan surat itu.

Jakarta, 16 Syawal 1399 H
8 September 1979 M.
Menjumpai seorang yang lahir dari benih sah ayah-bundaku
A. Nawawy Abdullah

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Aku tahu bahwa aku menyusun kata-kata seperti begini dalam masa ini dimana engkau mengikuti alur rasa dari jiwamu, sama dengan perang melawan arus yang melanda, betapa beratnya. Dan betapa mulianya, kuyakini.

Aku tak berhak memaksakan apapun kepadamu, dan memang itu tidak perlu. Masing-masing kita punya hati nurani, yang walaupun kita bisa mendustai manusia sedunia, namun kita tidak bisa mendustainya. Dengan itulah kita menimbang untung-rugi sebuah perjalanan. Hanya saja aku meminta kau sudi mendengarkan kata hatiku, memperhatikan sekadar harapanku, semoga ada gunanya bagi dirimu.

Adikku, aku tidak bisa mengatakan dengan pasti apa yang kau jalani sekarang ini. Kau lebih tahu. Mata orang banyak sekarang tertuju ke sebuah keluarga, keluarga kita, yang pernah menjadi titik pandang orang banyak. Terserahlah komentar mereka. Cuma satu hal yang harus kau perhatikan, bahwa kita hidup tidak sendirian di dunia ini. Ada tata aturan yang mengikat yang bila dilanggar mungkin akan terasa akibatnya sekarang juga, baik berupa kerugian kehormatan, kesehatan atau apa lagi yang bernilai. Masih segar dalam ingatan bagaimana musibah menimpa keluarga ini beberapa tahun yang lalu. Hampir sebuah masa depan lenyap begitu saja, hancur oleh tangan-tangan kotor orang-orang angkuh yang menganggap dirinya mampu melakukan banyak hal, mampu menjaga diri dari banyak kesukaran. Sampai detik ini akibat itu masih berlangsung. Dan bukan itu saja, berapa lagi korban yang sama berjatuhan.

Baru-baru ini seperti kau rasakan kengerian menghantui diriku, tentang sesuatu yang tidak kuperbuat, namun akibatnya akan kurasakan. Begini, maksudku... Kau tahu beberapa orang yang terlibat dalam kegiatan beberapa tahun lalu, dimana seorang anggota keluarga kita jatuh; kemana itu rekan-rekan "sependeritaan?" Mana tanggung jawab mereka? Mana itu kesetiakawanan? Mana pembelaan? Mereka terus dengan segala keangkuhan mempertontonkan perlawanan kepada Tuhan, seakan menentang kapan azab-Nya tiba. Aku takut mungkin kata-kataku tidak bernilai dalam pandangmu sekarang ini, tetapi aku ingin membuktikan bahwa akupun terus mengikuti perkembanganmu dengan hati yang luluh gelisah, kecewa. Aku ingin Tuhan menerima pengakuanku bahwa satu masa dari hidupku, pernah aku mengatakan sesuatu, atau menuliskan sesuatu yang merupakan suatu kewjiban, pahit. Jangan sampai jatuh lagi korban dalam keluarga ini. Ya, tak seorangpun merasa dirinya bakal celaka oleh tindakannya dan dengan angkuhnya dia berbuat, seakan kemarin tidak ada seorang teman yang mati dengan usus terbakar alkohol, atau otak rusak oleh asap celaka.

Kau tak bisa mengatakan bahwa kau menderita sendirian, menanggung semua itu seorang diri. tidak. Kau ingat bagaimana susahnya kita semua karena musibah yang menimpa seseorang dari anggota keluarga. Kemana itu keangkuhan, kebanggaan kepada kekuatan badan dan akal.? Aku kehilangan banyak hal dalam hidup ini. Harapanku, jangan engkau mengikuti lagi jejak lama yang telah terlalu banyak meminta pengorbanan. Belum terlambat. Tegakkan dengan pribadi yang jantan., tak ada gunanya menghindari kenyataan hidup dengan berlari ke garis khayal, dengan melawan hati nurani dan melontarkan alasan kepada lingkungan, situasi. Ciptakan kesempatan, jangan dinanti atau menyerah. Aku merasa bahwa sekarang ini akupun tak berharga lagi dalam pandanganmu, biarlah, aku tak mengharapkan itu semua, hanya pintaku jagalah dirimu. Jiwaku menjerit saat ini, aku tahu kau tak mendengar jeritan itu, tak merasakan hatiku yang luluh, gelisah, kengerian bercampur baur menjadi satu. Apakah sepanjang hidupku aku hanya harus melihat ketegangan demi ketegangan, kesombongan orang-orang yang begitu enaknya menyeret saudaraku ke kancah dunia mereka, lalu melemparkan korban itu untuk kami pikul dengan segala hina yang mencoreng muka, derita yang tak tentu bentuknya...

Semua nasehat-nasehat itu ia sampaikan sepenuh perasaan, segenap jiwa dan dengan seluruh cinta. Tak cukup sampai di situ. tahun 1982, Nawawy diajak mengaji secara intesif dalam sebuah halaqoh oleh Ustadz Rahmat. Tetapi ia tidak mengajak secara langsung. Ia menyuruh orang lain, Nurdin, seorang guru SMA untuk mengajaknya. Nawawy mulai ikut. Tetapi belum berjalan dengan baik. Ia mulai terpengaruh lagi ke kebiasaan lamanya. Tapi keinginan untuk berubah semakin menguat.

"Apalagi beberapa waktu itu saya sering menyaksikan teman-teman saya mati diujung peluru petrus. Ada namanya Agus Menteng Atas dipetrus, Jali juga dipetrus. Saya memang tidak ada kriminalnya tapi dianggap gembong karena minum. Dan saya itu punya prinsip lebih baik menjadi kepala semut dari pada terjajah, jadi saya menjadi pemimpin di kalangan anak-anak itu. Ustaz bilang sama saya, ‘Kalau antum mati di medan jihad, antum mati karena kedzaliman, saya ikhlas sebagai kakak kamu. Tapi kalau karena miras atau narkoba saya tidak ridha,’" kata Nawawy mengenang.

Beberapa tahun sesudah itu Nawawy benar-benar berhenti total dari minuman keras. "Kalau konsistenya ngikutin ustadz itu sekitar tahun 90 akhir. Untuk menguatkan tekad itu saya juga berusaha selalu puasa Senin-Kamis. Ini cara yang paling ampuh untuk meninggalkan semuan itu, termasuk juga dengan menghindari teman lama. Kalau tidak ikut pengajian intensif itu, belum tentu saya seperti sekarang ini," tambah Nawawy.

Hari-hari sesudah itu adalah persaudaraan dua anak kandung, yang tidak saja diikat oleh tali darah, tapi juga kasih sayang atas dasar iman. Kasih sayang ustadz Rahmat tak pernah habis. Terlebih bila sekadar soal finansial. "Kalau soal bantuan, itu kapan aja dari masih muda tidak pernah lupa bahkan setelah nikah juga. Pada saat saya meminta bantuan untuk nikah belia sangat girang sekali. Saya nikah hanya modal beberapa ribu saja selebihnya ditanggung Ustadz. Maskawin dari ibu saya lima geram emas.

"Kepada ustaz itu saya tidak pernah minta. Ini juga didikan Ustadz sendiri, jangan minta kepada manusia tapi mintalah kepada Allah yang Maha Kaya. Makanya kalau saya butuh bantuan tidak minta tapi dengan redaksi memaparkan masalah. Saya juga paham kalau ustaz tidak punya duit dari masIh bujangan. Tapi Ustadz kalau punya uang sedikit dan kebetulan saya ada beliau tidak mau nerima. Beberapa tahun yang lalu kebetulan beliau tidak punya uang untuk membetulkan tempat tidurnya yang patah. Saya yang kasih uang melalui istrinya melalui istri saya. Dengan cara ini Ustadz tidak bisa menolak. Itupun karena tempat tidur itu sudah diperbaiki dan sudah terjadi.

Nawawy telah memilih jalan barunya. Merajut cita-cita jauhnya. "Cita-cita saya, ingin mati syahid di jalan Allah dan itu semoga Alah berikan. Seperti Khalid sendiri meninggalnya di pembaringan padahal maunya di mendan perang. Istilahnya itu cita-cita. Yang kedua, saya ingin meninggal dalam kedaan puasa. Apakah Senin-Kamis atau pun pada ayyamul bidh. Meski prosesnya jatuh bangun, alhamdulilah dalam sebulan itu bisa sebelas hari puasa. Selain saya juga ingin kembali untuk bisa konsisten membaca Al Qur’an satu juz sehari, seperti yang terjadi beberapa tahun lalu."

Pengaruh orang yang sangat mencintainya begitu kuat. "Keperibadian Ustadz yang sang berbekas pada saya itu, beliau tidak pernah lepas wudhu. Alhamdulillah saya beberapa tahun ini saya selalu wudu, shalat dua rakaat. Saya tahu Ustadz melakukannya. Saya tidak pernah disuruh. Dia bercerita tentang Bilal yang selalu melakukan itu."

Lika-liku itu tentu punya tempatnya sendiri di relung kenangan masa lalu. Tapi yang pasti ia telah menempa sepotong jiwa untuk mendapatkan karunia hidayahnya. "Semua perjalanan panjang itu itu menanamkan kelembutan yang sangat pada diri saya. Padahal saya itu dulunya sadis. Kalau ngadu ayam dan kalah, ayam orang itu saya cekik dan banting. Sekarang saya nyakitin semut saja tidak mau," kata Nawawy menerawang.

Sentuhan cinta itu telah menampakkan buahnya. Meski jalan belum selesai, tapi setidaknya Nawawy telah merasakan betapa indahnya kasih sayang tulus seorang abang, ‘ayah’, dan saudaranya seiman: ustadz Rahmat Abdullah.**

Ahmad Zairofi AM & Azhar Suhaimi

Sumarni, Istri (Almarhum) Ustadz Rahmat Abdullah

"Semoga Anak-anak Bisa Menggantikan Abinya"

Kedukaan menyelimuti keluarga almarhum Ustadz Rahmat Abdullah di kawasan Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Di tengah suasana itu, Sumarni, istri almarhum, berkenan menuturkan kenangannya, tentang keseharian dan harapan almarhum pada Wasilah dari Tarbawi, Jum’at sore, 17 Juni 2005 (tiga hari setelah beliau wafat). Di sela perbincangan, Sumarni sering tak mampu menahan tangis. Beberapa kali kata-katanya tercekat dan keharuan dalam diam panjang menyelimuti kami. Namun sesekali kenangan jenaka bersama sang suami, membuatnya tersenyum. Saat berbagi, Sumarni ditemani ibunda dan beberapa sahabatnya, yang juga tak mampu menahan keharuan. "Abi sangat baik, subhanallah," tutur Sumarni berkali-kali. Berikut penuturannya:

Saat berangkat ke DPR pada Selasa (14 Juni 2005) pagi itu, Abi (ustadz Rahmat Abdullah) sehat-sehat saja. Biasa saja, tidak ada semacam nasehat atau sikap berbeda. Maka saya berkali-kali bertanya, ya Allah, semua ini mimpi tidak (terdiam, menangis). Tidak disangka kalau keluar dari rumah itu untuk terakhir kali (ustadz Rahmat Abdullah wafat pada Selasa malam, 14 Juni). Sebelum berangkat, Abi memang senyum, tapi cuma senyum saja. Barangkali maksudnya perpisahan, tapi saya tidak paham.

Selasa pagi itu, Abi ke DPR diantar Yitno, yang sudah lama bersama Abi. Yitno yatim sejak kecil, jadi sama Abi seperti bapak sendiri. Saya tanya ke Yitno, hari itu di mobil Abi bicara apa. Ternyata tidak seperti biasanya, Abi tidak banyak bicara, cuma baca koran saja.

Malam Selasanya, Abi tanya tentang anak-anak, yang tahun ini keluar sekolah siapa. "Thoriq," saya bilang. Fida kan belum kuliah lagi, kecuali kalau tahun ini ia masuk kuliah kembali. Eba sama Isda masih lama lulusnya. Abi sering bilang sama anak-anak, sekolah tujuannya bukan cari uang atau kerja, tapi cari ilmu.

Lantas Abi bilang, "Nai (panggilan khasnya untuk Sumarni), ada tempat makan bagus deh, makanannya biasa, tapi suasananya subhanallah, indah dan wangi, nanti kita ke sana ya." (menangis) Kalau tidak salah tempatnya di Sukabumi. Saya tanya rumah makan itu wangi apa. Kata Abi, wangi bunga sedap malam. Abi bilang dia sudah lama nggak melihat sedap malam. Lantas karena teringat di pasar Pondok Gede banyak bunga sedap malam, saya ingin belikan. Tapi belum kesampaian.

Setiap Sabtu pagi, kami sering jalan kaki berdua. Tapi Sabtu kemarin (11 Juni) karena Abi ke Medan, kami tidak jalan pagi. Pulangnya Abi bilang, "Lama kita nggak jalan ya." Karena seringnya kami jalan tiap Sabtu itu, ada teman bercanda, "Iri deh lihat Ustadz sama Umi Fida, sempat-sempatnya jalan kaki berdua."

Abi itu subhanallah, sangat baik. Sering ia mau mengerjakan sendiri pekerjaan di rumah. Bikin teh buat saya sama anak-anak, sudah tidak aneh lagi. Bahkan ibu-ibu yang mengaji di rumah sering ia buatkan teh. Kalau saya capek atau sakit kepala, ia langsung ke dapur, bikin nasi goreng. Setelah itu saya dibangunkan, diajak makan. Sering juga ia bikin kopi lantas mengajak minum berdua satu cangkir (menangis).

Kalau pulang, senangnya bawa oleh-oleh buat anak-anak, bawa ubi atau singkong yang dibeli di Pasar Pondok Gede. Pernah saya bilang suka pohon anggrek. Tiba-tiba Abi pulang bawa pohon itu. Ia bawa juga pot, tanah, pupuk sama obatnya. Awalnya saya lihat ada karung di depan rumah. Saya heran, ternyata isinya tanah buat menanam anggrek itu.

Di rumah saya sering sendirian kalau anak-anak sekolah. Dari kantor Abi sering telepon, "Lagi ngapain Nai, sendirian ya?" Saya jawab sambil bercanda, "Iya, sendirian, lagian situ sih jalan pagi-pagi (tertawa).

Pernah ada undangan walimah guru Iqro, Abi lantas mengajak saya membeli bahan, buat dijahit dan dipakai di acara itu. Sewaktu ke Bandung, Abi menelepon, "Nai, saya ke toko sepatu, ada sepatu bagus, kamu pakai nomor berapa?" Pulangnya, ia bawa sepatu sama sandal.

Kalau saya kesal, dia langsung peluk, lantas tanya, "Ada apa?" Abi punya kunci sendiri, supaya kalau pulang malam, nggak membangunkan yang lain. Kalau saya sakit, ia lebih sering lagi telepon. Malah sambil bilang, "Nai, kamu jangan sakit dong." Dan sepulangnya di rumah, ia memijat tangan dan kepala saya (menangis). Kadang saya tidur di bawah, pakai kasur. Kalau sedang kurang sehat, saya juga pakai selimut. Sehabis shalat malam, biasanya ia membetulkan selimut saya.

Sewaktu mau ke Medan (Sabtu, 11 Juni), Abi cari-cari materi, tapi belum ketemu. Justru yang ketemu foto-foto lama. Ada foto Abi waktu masih muda, sedang ceramah. Lucu fotonya, Abi masih kurus. Lantas ia tanya saya, "Nai, kamu lihat foto saya ini naksir enggak?" Saya bilang sambil bercanda, "Enggak." (tertawa)

Pernah Abi dapat undangan, tulisannya kepada Doktor Rahmat Abdullah. Lantas ia bilang, "Nai, ikut saya, mau wisuda doktor." Abi itu suka bercanda. Di pengajian di Iqro (di Pondok Gede) hari Ahad lalu, mungkin itu terakhir Abi bercanda sampai orang tertawa gerrr. Abi meniru lawakan API, "Kata Ustadz Sanusi...Ustadz Sanusi yang mana? Ya... gitu deh"

Nama saya kan Sumarni, biasa dipanggil Marni. Tapi kata Abi nggak enak kalau manggilnya ‘Ni’. Digantilah sama dia huruf ‘i’ nya jadi huruf ‘y’, dipanggil ‘Nai’. Sejak menikah Abi panggil saya Nai. Awalnya saya heran, kok manggilnya Nai. Sewaktu tahu sebabnya, saya jadi tertawa.

Sama anak-anak juga sering bercanda, kalau dicandai sama anak, lantas dijawab lagi sama Abi. Anak-anak biasa kumpul di kamar kami, berdesakan di tempat tidur. (Mereka dikaruniai tujuh anak, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17), Nusaibatul Hima (15), Isda Ilaiha (13), Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhru Ahmadi, 7)

Makanan yang Abi suka salad sama tomyam. Terakhir, saya buatkan tomyam, tapi bumbunya Abi sendiri yang beli. Abi senang belanja bumbu, juga sabun, odol, sampai peralatan dapur, pembakaran ayam, gilingan bawang. Anak-anak juga sering nitip dibelikan sabun muka, bedak, sampai susu pelangsing. Kadang Abinya salah beli. Kata anaknya, "Abi, ini sih bedak buat Umi.". Pernah anaknya minta dibelikan minuman pelangsing, mungkin dicari di supermarket nggak ada, lantas Abinya belikan Tropicana Slim, karena kan ada tulisan slim-nya.

Saya dan Abi berbeda usia 9 tahun. Abi lahir tahun 1953, saya tahun 1962. Kami sama-sama asli Betawi. Abi lahir di Kuningan (Jakarta Selatan), saya di Cikoko (Jakarta Selatan). Mungkin karena perbedaan usia, sewaktu pergi haji ada jamaah yang tanya ke saya, "Ibu, maaf ya, dulu dikiranya Ibu anaknya Pak Ustadz." Sering juga orang bilang, "Kayak jalan sama pamannya." Sewaktu saya ceritakan ke Abi, ia bilang, "Kamu seneng deh kalau ada yang bilang begitu." (tertawa)

Abi bersama ibu dan bibinya mengkhitbah pada malam Kamis bulan Ramadhan 1984. Saat itu Abi mengajukan usul walimah bulan Syawal. Tapi ada seorang ustadz mengusulkan untuk nikah besok malamnya. Ada yang bilang, "Soal KUA urusan ana, tinggal terima surat aja." Akhirnya disetujui. Karena mendadak, sewaktu Abi dan keluarganya berangkat untuk nikah malam Jum’atnya, ada teman Abi yang tanya, "Ini mau ke mana sih?"

Abi dulu guru saya, sewaktu saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Roudhotush Sholihin di Cikoko (Ibunda Sumarni bertutur , "Terburu-buru terbirit-birit, guru kawin sama murid.") Setelah menikah, Abi tanya saya, "Nai, ingat nggak waktu sekolah dulu kamu ikut lomba shalat di atas meja." Waktu ikut lomba itu, saya baru kelas satu Madrasah Ibtidaiyah. Kebetulan, Abi jadi jurinya. Setelah menikah, Abi meledek, "Dulu saya pikir, ini anak kecil-kecil ikut lomba shalat."

Awal menikah kami tinggal di Kuningan, di rumah keluarga Abi. Di sana, saya dan beberapa teman mengaji rutin sama Abi. Masa itu pengajian rutin belum bisa terbuka. Maka kami mengaji di belakang rumah, gelap, dekat dapur. Pernah di tahun ’85-an, saat Abi mengajar ke Bogor, hujan turun lebat. Saya sama ibunya Abi khawatir. Ibunya kan sayang sekali sama Abi, ia berdo’a terus, "Ya Allah ya Tuhan, lindungi anakku."

Sejak menikah, kelihatan sekali Abi tidak mementingkan materi. Kalau nggak punya uang, ia tenang saja. Paling ia bilang, kalau habis, berarti rejeki mau datang lagi. Kalau nggak ada uang, kami pakai dulu uang simpanan buat sedekah. Begitu ada masukan, kami ganti. Kadang saya "ambil" dulu sama tukang sayur langganan.

Kalau kesal, Abi biasanya diam. Tapi jarang sekali. Sedangkan kalau marah lewat lisan, susah sekali mengingatnya, rasanya tidak pernah. Beberapa hari lalu, entah kesal atau tidak, tapi ia sempat diam. Awalnya bajunya yang digantung saya cuci. Biasanya kalau digantung memang akan dipakai lagi. Tapi karena nggak suka banyak baju digantung, saya cuci saja. Besoknya, mungkin ia mau pakai baju itu, tapi nggak ada. Dia tidak ngomong apa-apa, diam saja. Saya heran kok diam saja. Jangan-jangan baju itu mau dipakai. Cepat-cepat saya setrika lantas digantung lagi. Benar, ternyata baju itu langsung dipakai.

Abi juga tidak suka kalau saya ngomong agak keras. Pernah saya mau bawa anak ke dokter THT. Dia tanya, "Mau kemana?"Saya jawab mau bawa Isda ke dokter THT. Ditanya kembali, "Jenguk siapa?" Saya jawab, "Kan mau bawa Isda ke dokter." Mungkin nada bicara saya agak tinggi. Abi lantas diam.

Mungkin banyak yang tidak percaya, tapi Abi biasa juga menyewa VCD, tapi film-film filsafat saja. Kalau tayangan televisi, Abi sering gusar. Malah ia langsung telepon stasiun televisi, protes tayangan tidak mendidik. Dia juga bilang ke saya, "Kamu telepon atau tulis surat ke stasiun TV kalau tayangannya kamu nggak setuju." Maka telepon semua stasiun TV dia catat. Ditempel dekat TV.

Dia sering menyanyikan nasyid Ribathul Ukhuwwah. Pernah ia bilang, "Kita bikin grup nasyid yuk." Lagu-lagu lama, lagu ‘Tuhan’, ‘Sajadah Panjang’ sama ‘Rindu Rasul’-nya Bimbo, juga dia suka. Lagu yang ia suka biasanya dipilih, direkam tiga kali yang itu-itu saja. Sewaktu disetel, lagu yang keluar berulang-ulang yang ia suka saja (tertawa).

Belakangan ini meski kesehatan Abi menurun, tapi kesibukannya hampir tidak berkurang. Apalagi membaca buku, yang sehari-hari memang "pekerjaannya", sama sekali nggak berubah. Sambil tiduran saat sakit pun, dia tetap baca buku. Meski tidak bisa bangun, Abi minta tolong saya diambilkan kitab. Sampai perawat di rumah sakit melarang, "Pak jangan baca buku dulu, Bapak nggak boleh banyak pikiran." Tapi Abi bilang, "Kalau enggak baca buku saya malah tambah sakit."

Abi paling senang memberi hadiah buku. Belum lama ini saya dibelikan buku Ibu Satu Menit. Biasanya, buku yang ia hadiahkan dikasih tulisan dalam bahasa Inggris, misalnya for my beloved wife. Pernah saya mau baca kitab Riyadush Shalihin, dan mau fotokopi buat dibagikan ke teman-teman. Ternyata Abi langsung beli 10 Riyadush Shalihin. Dia tidak bilang apa-apa. Sewaktu saya lihat di meja, ada bungkusan tebal sekali. Ketika saya buka, isinya 10 kitab itu.

Ia memang paling sering belanja buku. Pergi ke mana yang dibeli buku-buku. Abi senang juga membacakan saya kitab, sambil tiduran. Tapi kalau membaca tulisan Abi terus terang saya kadang nggak paham, cuma saya nggak bilang saja (tertawa).

Sewaktu pulang haji, oleh-olehnya juga buku. Maka kamar tidur pun penuh buku. Kebanyakan bahasa Arab, karena Abi tidak suka terjemahan, kecuali buat perbandingan. Pesannya yang diulang-ulang, harus banyak membaca. Kalau saya tidak paham saat membaca kitab, Abi bilang, "Terus saja dibaca, jangan berhenti, nanti akan paham juga."

Sehabis qiyamullail, Abi sering diam lama di sajadah, lantas tilawah. Setelah itu, ia mengetik sampai shubuh. Maka saya terbayang-bayang terus saat tengah malam dia duduk di meja kerja. Saya ingat sekali ia bilang, "Saya dari muda udah mikirin umat." Banyak yang ia harapkan buat umat, sampai kadang ia sedih. Tuduhan-tuduhan teroris juga membuat sedih.

Pernah kami mendapat telepon "gelap". Misalnya, sewaktu pemilihan presiden lalu. Kebetulan yang mengangkat teleponnya Abi sendiri. Orang itu marah-marah dan bicara kasar sekali. Tapi Abi biasa saja. Ada juga sms seperti itu. Kalau lewat sms, biasanya ditelepon langsung sama Abi, tapi tidak pernah diangkat.

Sebenarnya, Abi tidak mau dicalonkan jadi anggota DPR. "Bukan di situ bidang saya," katanya. Dia benar-benar tidak sreg di DPR. Belakangan ia sering tanya, "Nai, kalau saya keluar dari DPR kamu bagaimana?" Bagi saya, anggota DPR atau tidak sama saja.

Dia sering bilang, di DPR orang lebih banyak memakai emosi. Argumennya banyak yang karena nafsu, bukan pemikiran. Debat panjang, tapi setelah itu tidak ada penyelesaian. Maka rumah (dinas DPR) juga nggak ditempati. Lagi pula anak-anak sekolahnya di Pondok Gede. Kalau dari Kalibata terlalu jauh. Pernah sewaktu Abi pulang malam, saya bilang, "Udah Abi tidur aja di rumah (di kompleks DPR) sana." Tapi Abi nggak mau. "Yah... enggak enak enggak ada kamu," katanya.

Pada anak-anak, sekarang saya sering bilang sejujurnya, "Umi masih bersemangat hidup karena ada kamu. Nanti Abi kecewa kalau Umi nggak bisa mendidik kamu." Thoriq akan masuk kuliah. Cuma dia bilang, "Mi, Thoriq kerja saja ya. Kalau enggak, nanti yang cari uang siapa." Tapi saya tidak ijinkan. Anak-anak harus sekolah dulu, soal rejeki insya Allah dimudahkan Allah.

Alhamdulillah, Hasnan, anak yang terakhir (kelas 1 SD), minatnya ke agama besar sekali. Kalau ada tugas hapalan qiroah, malamnya dia serius belajar. Seperti Abinya, dia senang membaca. Kadang dia mengikuti Abinya, baca kitab sambil tiduran, meski belum ngerti isinya. Kalau melihat dia begitu, saya sama Abinya sering tertawa.

Sebenarnya saya berharap anak-anak semuanya mendalami agama, menjadi ulama seperti Abinya. Setidaknya, mudah-mudahan ada di antara anak-anak yang bisa menggantikan Abinya. Abinya juga begitu harapannya. Sering ia bilang, "Kalau Abi udah nggak ada, kitab Abi siapa yang mau terusin baca nih?"

Kalau sedang jenuh, Abi hobinya membakar sampah. Dia cari yang tidak terpakai, lantas dibakar di samping rumah. Pernah malam-malam Abi mencari naskah, tapi nggak ketemu. Akhirnya kertas-kertas hasil bongkaran yang sudah nggak terpakai, dibakar malam itu juga. Pernah juga sudah siap mau bakar sampah, ternyata halaman udah dibersihkan penjaga sekolah (Iqro), akhirnya nggak jadi.

Saya ingat, Abi pernah bilang, "Insya Allah nanti kalau sudah tua, kita menginap di rumah anak-anak, bergiliran." Ia juga meledek saya, "Nai, nanti kamu kalau sudah tua marah-marah melulu deh."

Saya membayangkan memang akan hidup sampai tua sama Abi. Ternyata kehendak Allah lain. (terdiam)*****



[artikel islami] Kalender Hijriah

Senin, 20 April 2009

  1. Muharram
  2. Safar
  3. Rabiulawal
  4. Rabiulakhir
  5. Jumadilawal
  6. Jumadilakhir
  7. Rajab
  8. Sya'ban
  9. Ramadan
  10. Syawal
  11. Zulkaidah
  12. Zulhijjah

[memori] bersamamu

Kamis, 16 April 2009




Hidup dalam bayang-bayangmu, selalu mengikutimu walau jarang kau hiraukan
Pernah aku bermimpi jadi manusia biasa sepertimu
Aku ingin bebas berjalan, berlari, bahkan aku.. aku ingin sekali bisa berbicara padamu..
Aku ingin membagi kisahku, aku ingin berbagi kenangan indahku bersamamu
Walau kutahu kini, aku hidup dalam dirimu..
Kusadari kau
takkan pernah menundukkan pandanganmu melihatku..
Aku hanya ingin menjadi sahabatmu, di mana pun kau berada..
Walau aku tetap jadi bayang-bayangmu..
Kuharap kubisa melihat senyum dan tawa bahagiamu..

[puisi] ALLAH Knows

Senin, 13 April 2009

When you are tired and discouraged from fruitless efforts
Allah knows how hard you have tried


When you have cried so long and your heart is in anguish
Allah has counted your tears


When you feel that your life is on hold and time has passed you by
Allah is waiting with you


When you are lonely and your friends are too busy even for a phone call
Allah is by your side


When you have tried everything and don’t know where to turn
Allah has a solution


When nothing makes sense and you are confused or frustrated
Allah has the answer


When suddenly your life is brighter and you find traces of hope
Allah has whispered to you


When things are going well and you have much to be thankful for
Allah has blessed you


When something joyful happens and you are filled with awe
Allah has smiled upon you


When you have a purpose to fulfill and a dream to follow
Allah has opened your eyes and called you by name


Remember that wherever you are or whatever you are facing
ALLAH Knows!



ALLAH Mengetahui


Saat kau lelah dan tak berdaya karena usaha yang gagal
Allah tahu betapa gigih engkau telah berusaha


Ketika sekian lama kau menangis dan batinmu menderita
Allah telah menghitung tangismu


Saat kau rasa hidupmu tak menentu dan waktu terus meninggalkanmu
Allah menunggu bersamamu


Ketika kau kesepian dan kawanmu terlalu sibuk meski hanya untuk menelpon
Allah berada di sisimu


Saat kau telah mencoba segala sesuatu dan tak tahu harus berbuat apa lagi
Allah memiliki jalan keluarnya


Ketika semuanya tak masuk akal dan engkau merasa bingung atau frustasi
Allah memiliki jawabannya


Saat tiba-tiba hidupmu lebih cerah dan kau temukan secercah harapan
Allah telah berbisik kepadamu


Ketika semuanya berjalan lancar dan banyak yang harus kau syukuri
Allah telah memberkahimu


Saat kegembiraan datang dan engkau merasa terpesona
Allah tersenyum padamu


Ketika kau punya cita-cita dan mimpi untuk diwujudkan
Allah telah membuka matamu dan memanggil namamu


Ingitlah, di manapun engkau dan apapun yang engkau hadapi
ALLAH Mengetahui!

Puisi Anonimus Diterjemahkan oleh Agung
Sumber: Percikan Iman

[palestine] Senyum Syuhada Gaza

Rabu, 08 April 2009

Alangkah agungnya seorang yang syahid� Di akhirat ia memperoleh kebesaran luar biasa. Dia tidak meninggalkan dunia ini kecuali dengan barisan yang mulia. Manusia menangis, sedangkan syahid tersenyum�

Kegembiraan melihat tempat tinggalnya di surga menyunggingkan senyum di bibir sang syahid, seperti yang kita lihat para Syuhada Gaza berikut ini:


















http://muhammadalfatih.multiply.com/
sumber: eramuslim

Gaza, itulah nama hamparan tanah yang luasnya tidak lebih dari 360 km persegi. Berada di Palestina Selatan, “potongan” itu “terjepit” di antara tanah yang dikuasai penjajah Zionis Israel, Mesir, dan laut Mediterania, serta dikepung dengan tembok di sepanjang daratannya.

Sudah lama Israel “bernafsu” menguasai wilayah ini. Namun, jangankan menguasai, untuk bisa masuk ke dalamnya saja Israel tidak mampu.

Sudah banyak cara yang mereka lakukan untuk menundukkan kota kecil ini. Blokade rapat yang membuat rakyat Gaza kesulitan memperoleh bahan makanan, obat-obatan, dan energi, telah dilakukan sejak 2006 hingga kini. Namun, penduduk Gaza tetap bertahan, bahkan perlawanan Gaza atas penjajahan Zionis semakin menguat.

Akhirnya Israel melakukan serangan “habis-habisan” ke wilayah ini sejak 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009. Mereka”mengguyurkan” ratusan ton bom dan mengerahkan semua kekuatan hingga pasukan cadangannya.

Namun, sekali lagi, negara yang tergolong memiliki militer terkuat di dunia ini harus mundur dari Gaza.

Di atas kertas, kemampuan senjata AK 47, roket anti tank RPG, ranjau, serta beberapa jenis roket buatan lokal yang biasa dipakai para mujahidin Palestina, tidak akan mampu menghadapi pasukan Israel yang didukung tank Merkava yang dikenal terhebat di dunia. Apalagi menghadapi pesawat tempur canggih F-16, heli tempur Apache, serta ribuan ton “bom canggih” buatan Amerika Serikat.

Akan tetapi di sana ada “kekuatan lain” yang membuat para mujahidin mampu membuat “kaum penjajah” itu hengkang dari Gaza dengan muka tertunduk, walau hanya dengan berbekal senjata-senjata “kuno”.

Itulah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada para pejuangnya yang taat dan ikhlas. Kisah tentang munculnya “pasukan lain” yang ikut bertempur bersama para mujahidin, semerbak harum jasad para syuhada, serta beberapa peristiwa “aneh” lainnya selama pertempuran, telah beredar di kalangan masyarakat Gaza, ditulis para jurnahs, bahkan disiarkan para khatib Palestina di khutbah-khutbah Jumat mereka.

Wartawan kami, Thoriq, merangkum kisah-kisah “ajaib” tersebut dari berbagai sumber untuk para pembaca yang budiman. Selamat mengikuti. ***


Pasukan "Berseragam Putih" di Gaza

Ada “pasukan lain” membantu para mujahidin Palestina. Pasukan Israel sendiri mengakui adanya pasukan berseragam putih itu.

Suatu hari di penghujung Januari 2009, sebuah rumah milik keluarga Dardunah yang berada di antara Jabal Al Kasyif dan Jabal Ar Rais, tepatnya di jalan Al Qaram, didatangi oleh sekelompok pasukan Israel.

Seluruh anggota keluarga diperintahkan duduk di sebuah ruangan. Salah satu anak laki-laki diinterogasi mengenai ciri-ciri para pejuang al-Qassam.

Saat diinterogasi, sebagaimana ditulis situs Filisthin Al Aan (25/1/2009), mengutip cerita seorang mujahidin al-Qassam, laki-laki itu menjawab dengan jujur bahwa para pejuang al-Qassam mengenakan baju hitam-hitam. Akan tetapi tentara itu malah marah dan memukulnya hingga laki-laki malang itu pingsan.

Selama tiga hari berturut-turut, setiap ditanya, laki-laki itu menjawab bahwa para pejuang al-Qassam memakai seragam hitam. Akhirnya, tentara itu naik pitam dan mengatakan dengan keras, “Wahai pembohong! Mereka itu berseragam putih!”

Cerita lain yang disampaikan penduduk Palestina di situs milik Brigade Izzuddin al-Qassam, Multaqa al-Qasami, juga menyebutkan adanya “pasukan lain” yang tidak dikenal. Awalnya, sebuah ambulan dihentikan oleh sekelompok pasukan Israel. Sopirnya ditanya apakah dia berasal dari kelompok Hamas atau Fatah? Sopir malang itu menjawab, “Saya bukan kelompok mana-mana. Saya cuma sopir ambulan.”

Akan tetapi tentara Israel itu masih bertanya, “Pasukan yang berpakaian putih-putih dibelakangmu tadi, masuk kelompok mana?” Si sopir pun kebingungan, karena ia tidak melihat seorangpun yang berada di belakangnya. “Saya tidak tahu,” jawaban satu-satunya yang ia miliki.


SuaraTak Bersumber

Ada lagi kisah karamah mujahidin yang kali ini disebutkan oleh khatib masjid Izzuddin Al Qassam di wilayah Nashirat Gaza yang telah ditayangkan oleh TV channel Al Quds, yang juga ditulis oleh Dr Aburrahman Al Jamal di situs Al Qassam dengan judul Ayaat Ar Rahman fi Jihad Al Furqan (Ayat-ayat Allah dalam Jihad Al Furqan).

Sang khatib bercerita, seorang pejuang telah menanam sebuah ranjau yang telah disiapkan untuk menyambut pasukan Zionis yang melalui jalan tersebut.

“Saya telah menanam sebuah ranjau. Saya kemudian melihat sebuah helikopter menurunkan sejumlah besar pasukan disertai tank-tank yang beriringan menuju jalan tempat saya menanam ranjau,” kata pejuang tadi.

Akhirnya, sang pejuang memutuskan untuk kembali ke markas karena mengira ranjau itu tidak akan bekerja optimal. Maklum, jumlah musuh amat banyak.

Akan tetapi, sebelum beranjak meninggalkan lokasi, pejuang itu mendengar suara “Utsbut, tsabatkallah” yang maknanya kurang lebih, “tetaplah di tempat maka Allah menguatkanmu.” Ucapan itu ia dengar berulang-ulang sebanyak tiga kali.

“Saya mencari sekeliling untuk mengetahui siapa yang mengatakan hal itu kapada saya. Akan tetapi saya malah terkejut, karena tidak ada seorang pun yang bersama saya,” ucap mujahidin itu, sebagaimana ditirukan sang khatib.

Akhirnya sang mujahid memutuskan untuk tetap berada di lokasi. Ketika sebuah tank melewati ranjau yang tertanam, sesualu yang “ajaib” terjadi. Ranjau itu justru meledak amat dahsyat. Tank yang berada di dekatnya langsung hancur. Banyak serdadu Israel meninggal seketika. Sebagian dari mereka harus diangkut oleh helikopter. “Sedangkan saya sendiri dalam keadaan selamat,” kata mujahid itu lagi, melalui lidah khatib.

Cerita yang disampaikan oleh seorang penulis Mesir, Hisyam Hilali, dalam situs alraesryoon.com, ikut mendukung kisah-kisah sebelumnya. Abu Mujahid, salah seorang pejuang yang melakukan ribath (berjaga) mengatakan, “Ketika saya mengamati gerakan tank-tank di perbatasan kota, dan tidak ada seorang pun di sekitar, akan tetapi saya mendengar suara orang yang bertasbih dan beritighfar. Saya berkali-kali mencoba untuk memastikan asal suara itu, akhirnya saya memastikan bahwa suara itu tidak keluar kecuali dari bebatuan dan pasir.”

Cerita mengenai “pasukan tidak dikenal” juga datang dari seorang penduduk rumah susun wilayah Tal Islam yang handak mengungsi bersama keluarganya untuk menyelamatkan diri dari serangan Israel.

Di tangga rumah ia melihat beberapa pejuang menangis. “Kenapa kalian menangis?” tanyanya.

“Kami menangis bukan karena khawatir keadaan diri kami atau takut dari musuh. Kami menangis karena bukan kami yang bertempur. Di sana ada kelompok lain yang bertempur memporak-porandakan musuh, dan kami tidak tahu dari mana mereka datang,” jawabnya

Saksi Serdadu Israel

Cerita tentang “serdadu berseragam putih” tak hanya diungkap oleh mujahidin Palestina atau warga Gaza. Beberapa personel pasukan Israel sendiri menyatakan hal serupa.

Situs al-Qassam memberitakan bahwa TV Chan­nel 10 milik Israel telah menyiarkan seorang anggota pasukan yang ikut serta dalam pertempuran Gaza dan kembali dalam keadaan buta.

“Ketika saya berada di Gaza, seorang tentara berpakaian putih mendatangi saya dan menaburkan pasir di mata saya, hingga saat itu juga saya buta, kata anggota pasukan ini.

Di tempat lain ada serdadu Israel yang mengatakan mereka pernah berhadapan dengan “hantu”. Mereka tidak diketahui dari mana asalnya, kapan munculnya, dan ke mana menghilangnya.

Masih dari Channel 10, seorang Lentara Israel lainnya mengatakan, “Kami berhadapan dengan pasukan berbaju putih-putih dengan jenggot panjang. Kami tembak dengan senjata, akan tetapi mereka tidak mati.”

Cerita ini menggelitik banyak pemirsa. Mereka bertanya kepada Channel 10, siapa sebenarnya pasukan berseragam putih itu? ***

Sudah Meledak, Ranjau Masih Utuh

Di saat para mujahidin terjepit, hewan-hewan dan alam tiba-tiba ikut membantu, bahkan menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan.

Sebuah kejadian “aneh” terjadi di Gaza Selatan, tepatnya di daerah AI Maghraqah. Saat itu para mujahidin sedang memasang ranjau. Di saat mengulur kabel, tiba-tiba sebuah pesawat mata-mata Israel memergoki mereka. Bom pun langsung jatuh ke lokasi itu.

Untunglah para mujahidin selamat. Namun, kabel pengubung ranjau dan pemicu yang tadi hendak disambung menjadi terputus. Tidak ada kesempatan lagi untuk menyambungnya, karena pesawat masih berputar-putar di atas.

Tak lama kemudian, beberapa tank Israel mendekati lokasi di mana ranjau-ranjau tersebut ditanam. Tak sekadar lewat, tank-tank itu malah berhenti tepat di atas peledak yang sudah tak berfungsi itu.

Apa daya, kaum Mujahidin tak bisa berbuat apa-apa. Kabel ranjau jelas tak mungkin disambung, sementara tank-tank Israel telah berkumpul persis di atas ranjau.

Mereka merasa amat sedih, bahkan ada yang menangis ketika melihat pemandangan itu. Sebagian yang lain berdoa, “allahumma kama lam tumakkinna minhum, allahumma la tumakkin lahum,” yang maknanya, “Ya Allah, sebagaimana engkau tidak memberikan kesempatan kami menghadapi mereka, jadikanlah mereka juga lidak memiliki kesempatan serupa.”

Tiba-tiba, ketika fajar tiba, terjadilah keajaiban. Terdengar ledakan dahsyat persis di lokasi penanaman ranjau yang tadinya tak berfungsi.

Setelah Tentara Israel pergi dengan membawa kerugian akibat ledakan lersebut, para mujahidin segera melihal lokasi ledakan. Sungguh aneh, ternyata seluruh ranjau yang telah mereka tanam itu masih utuh. Dari mana datangnva ledakan? Wallahu a’lam.

Masih dari wilayah Al Maghraqah. Saat pasukan Israel menembakkan artileri ke salah satu rumah, hingga rumah itu terbakar dan api menjalar ke rumah sebelahnya, para mujahidin dihinggapi rasa khawatir jika api itu semakin tak terkendali.

Seorang dari mujahidin itu lalu berdoa,”Wahai Dzat yang merubah api menjadi dingin dan tidak membahayakan untuk Ibrahim, padamkanlah api itu dengan kekuatan-Mu.”

Maka, tidak lebih dari tiga menit, api pun padam. Para niujahidin menangis terharu karena mereka merasa Allah Subhanuhu wa Ta’ala (SWT) telah memberi pertolongan dengan terkabulnya doa mereka dengan segera.

Merpati dan Anjing

Seorang mujahid Palestina menuturkan kisah “aneh” lainnya kepada situs Filithin AlAan (25/1/ 2009). Saat bertugas di wilayah Jabal Ar Rais, sang mujahid melihat seekor merpati terbang dengan suara melengking, yang melintas sebelum rudal-rudal Israel berjatuhan di wilayah itu.

Para mujahidin yang juga melihat merpati itu langsung menangkap adanya isyarat yang ingin disampaikan sang merpati.

Begitu merpali itu melintas, para mujahidin langsung berlindung di tempat persembunyian mereka. Ternyata dugaan mereka benar. Selang beberapa saat kemudian bom-bom Israel datang menghujan. Para mujahidin itu pun selamat.

Adalagi cerita “keajaiban” mengenai seekor anjing, sebagaimana diberitakan situs Filithin Al Aan. Suatu hari, tatkala sekumpulan mujahidin Al Qassam melakukan ribath di front pada tengah malam, tiba-tiba muncul seekor anjing militer Israel jenis doberman. Anjing itu kelihatannya memang dilatih khusus untuk membantu pasukan Israel menemukan tempat penyimpanan senjata dan persembunyian para mujahidin.

Anjing besar ini mendekat dengan menampakkan sikap tidak bersahabat. Salah seorang mujahidin kemudian mendekati anjing itu dan berkata kepadanya, “Kami adalah para mujahidin di jalan Allah dan kami diperintahkan untuk tetap berada di tempat ini. Karena itu, menjauhlah dari kami, dan jangan menimbulkan masalah untuk kami.”

Setelah itu, si anjing duduk dengan dua tangannya dijulurkan ke depan dan diam. Akhirnya, seorang mujahidin yang lain mendekatinya dan memberinya beberapa korma. Dengan tenang anjing itu memakan korma itu, lalu beranjak pergi.

Kabut pun Ikut Membantu

Ada pula kisah menarik yang disampaikan oleh komandan lapangan Al Qassam di kamp pengungsian Nashirat, langsung setelah usai shalat dhuhur di masjid Al Qassam (17/1/2009).

Saat itu sekelompok mujahidin yang melakukan ribath di Tal Ajul terkepung oleh tank-tank Israel dan pasukan khusus mereka. Dari atas, pesawat mata-mata terus mengawasi.

Di saat posisi para mujahidin terjepit, kabut tebal tiba-tiba turun di malam itu. Kabut itu lelah menutupi pandangan mata tentara Israel dan membantu pasukan mujahidin keluar dari kepungan.

Kasus serupa diceritakan oleh Abu Ubaidah. salah satu pemimpin lapangan Al Qassam, sebagaimana ditulis situs almesryoon.com. la bercerita bagaimana kabut tebal tiba-tiba turun dan membatu para mujahidin untuk melakukan serangan.

Awalnya, pasukan mujahiddin tengah menunggu waktu yang tepat untuk mendekati tank-tank tentara Israel guna meledakkannya. “Tak lupa kami berdoa kepada Allah agar dimudahkan untuk melakukan serangan ini,” kata Abu Ubaidah.

Tiba-tiba turunlah kabut tebal di tempat tersebut. Pasukan mujahidin segera bergerak menyelinap di antara tank-tank, menanam ranjau-ranjau di dekatnya, dan segera meninggalkan lokasi tanpa diketahui pesawat mata-mata yang memenuhi langit Gaza, atau oleh pasukan infantri Israel yang berada di sekitar kendaraan militer itu. Lima tentara Israel tewas di tempat dan puluhan lainnya luka-luka setelah ranjau-ranjau itu meledak.

Selamat dengan al-Qur’an

Cerita ini bermula ketika salah seorang pejuang yang menderita luka memasuki rumah sakit As Syifa’. Seorang dokter yang memeriksanya kaget ketika mengelahui ada sepotong proyektil peluru bersarang di saku pejuang tersebut.

Yang membuat ia sangat kaget adalah timah panas itu gagal menembus jantung sang pejuang karena terhalang oleh sebuah buku doa dan mushaf al-Qur’an yang selalu berada di saku sang pejuang.

Buku kumpulun doa itu berlobang, namun hanya sampul muka mushaf itu saja yang rusak, sedangkan proyektil sendiri bentuknya sudah “berantakan”.

Kisah ini disaksikan sendiri oleh Dr Hisam Az Zaghah, dan diceritakannya saat Festival Ikatan Dokter Yordan sebagaimana ditulis situs partai Al Ikhwan Al Muslimun (23/1/2009).















Dr Hisam juga memperlihatkan bukti berupa sebuah proyektil peluru, mushaf Al Qur’an, serta buku kumpulan doa-doa berjudul Hishnul Muslim yang menahan peluru tersebut.

Abu Ahid, imam Masjid AnNur di Hay As Syeikh Ridzwan, juga punya kisah menarik. Sebelumnya, Israel telah menembakkan 3 rudalnya ke masjid itu hingga tidak tersisa kecuali hanya puing-puing bangunan. “Akan tetapi mushaf-mushaf Al Quran tetap berada di tampatnya dan tidak tersentuh apa-apa,” ucapnya seraya tak henti bertasbih.

“Kami temui beberapa mushaf yang terbuka tepat di ayat-ayat yang mengabarkan tentang kemenangan dan kesabaran, seperti firman Allah, ‘Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali,”(Al-Baqarah [2]: 155-156),” jelas Abu Ahid sebagaimana dikutip Islam Online (15/1/2009).***

Harum Jasad Para Syuhada

Abdullah As Shani adalah anggota kesatuan sniper (penembak jitu) al-Qassam yang menjadi sasaran rudal pesawat F-16 Israel ketika sedang berada di pos keamanan di Nashirat, Gaza.

Jasad komandan lapangan al-Qassam dan pengawal khusus para tokoh Hamas ini “hilang” setelah terkena rudal. Selama dua hari jasad tersebut dicari, ternyata sudah hancur tak tersisa kecuali serpihan kepala dan dagunya. Serpihan-serpihan tubuh itu kemudian dikumpulkan dan dibawa pulang ke rumah oleh keluarganya untuk dimakamkan.

Sebelum dikebumikan, sebagaimana dirilis situs syiria-aleppo. com (24/1/2009), serpihan jasad tersebut sempat disemayamkan di sebuah ruangan di rumah keluarganya. Beberapa lama kemudian, mendadak muncul bau harum misk dari ruangan penyimpanan serpihan tubuh tadi.

Keluarga Abdullah As Shani’ terkejut lalu memberitahukan kepada orang-orang yang mengenal sang pejuang yang memiliki kuniyah (julukan) Abu Hamzah ini.

Lalu, puluhan orang ramai-ramai mendatangi rumah tersebut untuk mencium bau harum yang berasal dari serpihan-serpihan tubuh yang diletakkan dalam sebuah kantong plastik.

Bahkan, menurut pihak keluarga, 20 hari setelah wafatnya pria yang tak suka menampakkan amalan-amalannya ini, bau harum itu kembali semerbak memenuhi rungan yang sama.

Cerita yang sama terjadi juga pada jenazah Musa Hasan Abu Nar, mujahid Al Qassam yang juga syahid karena serangan udara Israel di Nashiriyah. Dr Abdurrahman Al Jamal, penulis yang bermukim di Gaza, ikut mencium bau harum dari sepotong kain yang terkena darah Musa Hasan Abu Nar. Walau kain itu telah dicuci berkali-kali, bau itu tetap semerbak.

Ketua Partai Amal Mesir, Majdi Ahmad Husain, menyaksikan sendiri harumnya jenazah para syuhada. Sebagaunana dilansir situs Al Quds Al Arabi (19/1/2009), saat masih berada di Gaza, ia menyampaikan, “Saya telah mengunjungi sebagian besar kota dan desa-desa. Saya ingin melihat bangunan-bangunan yang hancur karena serangan Israel. Percayalah, bahwa saya mencium bau harumnya para syuhada.”

Dua Pekan Wafat, Darah Tetap Mengalir

Yasir Ali Ukasyah sengaja pergi ke Gaza dalam rangka bergabung dengan sayap milisi pejuang Hamas, Brigade Izzuddin al-Qassam. Ia meninggalkan Mesir setelah gerbang Rafah, yang menghubungkan Mesir-Gaza, terbuka beberapa bulan lalu.

Sebelumnya, pemuda yang gemar menghafal al-Qur’an ini sempat mengikuti wisuda huffadz (para penghafal) al-Qur’an di Gaza dan bergabung dengan para mujahidin untuk memperoleh pelatihan militer. Sebelum masuk Gaza, di pertemuan akhir dengan salah satu sahabatnya di Rafah, ia meminta didoakan agar memperoleh kesyahidan.

Untung tak dapat ditolak, malang tak dapat diraih, di bumi jihad Gaza, ia telah memperoleh apa yang ia cita-citakan. Yasir syahid dalam sebuah pertempuran dengan pasukan Israel di kamp pengungsian Jabaliya.

Karena kondisi medan, jasadnya baru bisa dievakuasi setelah dua pekan wafatnya di medan pertempuran tersebut.

Walau sudah dua pekan meninggal, para pejuang yang ikut serta melakukan evakuasi menyaksikan bahwa darah segar pemuda berumur 21 tahun itu masih mengalir dan fisiknya tidak rusak. Kondisinya mirip seperti orang yang sedang tertidur.

Sebelum syahid, para pejuang pernah menawarkan kepadanya untuk menikah dengan salah satu gadis Palestina, namun ia menolak. “Saya meninggalkan keluarga dan tanah air dikarenakan hal yang lebih besar dari itu,” jawabnya.

Kabar tentang kondisi jenazah pemuda yang memiliki kuniyah Abu Hamzah beredar di kalangan penduduk Gaza. Para khatib juga menjadikannya sebagai bahan khutbah Jumat mereka atas tanda-tanda keajaiban perang Gaza. Cerita ini juga dimuat oleh Arab Times (7/2/ 2009)

Terbunuh 1.000, Lahir 3.000

Hilang seribu, tumbuh tiga ribu. Sepertinya, ungkapan ini cocok disematkan kepada penduduk Gaza. Kesedihan rakyat Gaza atas hilangnya nyawa 1.412 putra putrinya, terobati dengan lahirnya 3.700 bayi selama 22 hari gempuran Israel terhadap kota kecil ini.

Hamam Nisman, Direktur Dinas Hubungan Sosial dalam Kementerian Kesehatan pemerintahan Gaza menyatakan bahwa dalam 22 hari 3.700 bayi lahir di Gaza. “Mereka lahir antara tanggal 27 Desember 2008 hingga 17 Januari 2009, ketika Is­rael melakukan serangan yang menyebabkan meninggalnya 1.412 rakyat Gaza, yang mayoritas wanita dan anak-anak,” katanya.

Bulan Januari tercatat sebagai angka kelahiran tertinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. “Setiap tahun 50 ribu kasus kelahiran tercatat di Gaza. Dan, dalam satu bulan tercatat 3.000 hingga 4.000 kelahiran. Akan tetapi di masa serangan Israel 22 hari, kami mencatat 3.700 kelahiran dan pada sisa bulan Januari tercatat 1.300 kelahiran. Berarti dalam bulan Januari terjadi peningkatan kelahiran hingga 1.000 kasus,” katanya kepada islamonline.net (2/2/ 2009).

Rasio antara kematian dan kelahiran di Gaza memang tidak sama. Angka kelahiran, jelasnya lagi, mencapai 50 ribu tiap tahun, sedang kematian mencapai 5 ribu.

“Israel sengaja membunuh para wanita dan anak-anak untuk menghapus masa depan Gaza. Sebanyak 440 anak-anak dan 110 wanita telah dibunuh dan 2.000 anak serta 1.000 wanita mengalami luka-luka,” ungkapnya. ***

Sumber: Majalah Hidayatullah EDISI 11| XXI | Maret 2009 /Rabiul Ula 1430 | ISSN 0863-2367