[artikel] "Semoga Anak-anak Bisa Menggantikan Abinya"

Jumat, 24 April 2009

Sumarni, Istri (Almarhum) Ustadz Rahmat Abdullah

"Semoga Anak-anak Bisa Menggantikan Abinya"

Kedukaan menyelimuti keluarga almarhum Ustadz Rahmat Abdullah di kawasan Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Di tengah suasana itu, Sumarni, istri almarhum, berkenan menuturkan kenangannya, tentang keseharian dan harapan almarhum pada Wasilah dari Tarbawi, Jum’at sore, 17 Juni 2005 (tiga hari setelah beliau wafat). Di sela perbincangan, Sumarni sering tak mampu menahan tangis. Beberapa kali kata-katanya tercekat dan keharuan dalam diam panjang menyelimuti kami. Namun sesekali kenangan jenaka bersama sang suami, membuatnya tersenyum. Saat berbagi, Sumarni ditemani ibunda dan beberapa sahabatnya, yang juga tak mampu menahan keharuan. "Abi sangat baik, subhanallah," tutur Sumarni berkali-kali. Berikut penuturannya:

Saat berangkat ke DPR pada Selasa (14 Juni 2005) pagi itu, Abi (ustadz Rahmat Abdullah) sehat-sehat saja. Biasa saja, tidak ada semacam nasehat atau sikap berbeda. Maka saya berkali-kali bertanya, ya Allah, semua ini mimpi tidak (terdiam, menangis). Tidak disangka kalau keluar dari rumah itu untuk terakhir kali (ustadz Rahmat Abdullah wafat pada Selasa malam, 14 Juni). Sebelum berangkat, Abi memang senyum, tapi cuma senyum saja. Barangkali maksudnya perpisahan, tapi saya tidak paham.

Selasa pagi itu, Abi ke DPR diantar Yitno, yang sudah lama bersama Abi. Yitno yatim sejak kecil, jadi sama Abi seperti bapak sendiri. Saya tanya ke Yitno, hari itu di mobil Abi bicara apa. Ternyata tidak seperti biasanya, Abi tidak banyak bicara, cuma baca koran saja.

Malam Selasanya, Abi tanya tentang anak-anak, yang tahun ini keluar sekolah siapa. "Thoriq," saya bilang. Fida kan belum kuliah lagi, kecuali kalau tahun ini ia masuk kuliah kembali. Eba sama Isda masih lama lulusnya. Abi sering bilang sama anak-anak, sekolah tujuannya bukan cari uang atau kerja, tapi cari ilmu.

Lantas Abi bilang, "Nai (panggilan khasnya untuk Sumarni), ada tempat makan bagus deh, makanannya biasa, tapi suasananya subhanallah, indah dan wangi, nanti kita ke sana ya." (menangis) Kalau tidak salah tempatnya di Sukabumi. Saya tanya rumah makan itu wangi apa. Kata Abi, wangi bunga sedap malam. Abi bilang dia sudah lama nggak melihat sedap malam. Lantas karena teringat di pasar Pondok Gede banyak bunga sedap malam, saya ingin belikan. Tapi belum kesampaian.

Setiap Sabtu pagi, kami sering jalan kaki berdua. Tapi Sabtu kemarin (11 Juni) karena Abi ke Medan, kami tidak jalan pagi. Pulangnya Abi bilang, "Lama kita nggak jalan ya." Karena seringnya kami jalan tiap Sabtu itu, ada teman bercanda, "Iri deh lihat Ustadz sama Umi Fida, sempat-sempatnya jalan kaki berdua."

Abi itu subhanallah, sangat baik. Sering ia mau mengerjakan sendiri pekerjaan di rumah. Bikin teh buat saya sama anak-anak, sudah tidak aneh lagi. Bahkan ibu-ibu yang mengaji di rumah sering ia buatkan teh. Kalau saya capek atau sakit kepala, ia langsung ke dapur, bikin nasi goreng. Setelah itu saya dibangunkan, diajak makan. Sering juga ia bikin kopi lantas mengajak minum berdua satu cangkir (menangis).

Kalau pulang, senangnya bawa oleh-oleh buat anak-anak, bawa ubi atau singkong yang dibeli di Pasar Pondok Gede. Pernah saya bilang suka pohon anggrek. Tiba-tiba Abi pulang bawa pohon itu. Ia bawa juga pot, tanah, pupuk sama obatnya. Awalnya saya lihat ada karung di depan rumah. Saya heran, ternyata isinya tanah buat menanam anggrek itu.

Di rumah saya sering sendirian kalau anak-anak sekolah. Dari kantor Abi sering telepon, "Lagi ngapain Nai, sendirian ya?" Saya jawab sambil bercanda, "Iya, sendirian, lagian situ sih jalan pagi-pagi (tertawa).

Pernah ada undangan walimah guru Iqro, Abi lantas mengajak saya membeli bahan, buat dijahit dan dipakai di acara itu. Sewaktu ke Bandung, Abi menelepon, "Nai, saya ke toko sepatu, ada sepatu bagus, kamu pakai nomor berapa?" Pulangnya, ia bawa sepatu sama sandal.

Kalau saya kesal, dia langsung peluk, lantas tanya, "Ada apa?" Abi punya kunci sendiri, supaya kalau pulang malam, nggak membangunkan yang lain. Kalau saya sakit, ia lebih sering lagi telepon. Malah sambil bilang, "Nai, kamu jangan sakit dong." Dan sepulangnya di rumah, ia memijat tangan dan kepala saya (menangis). Kadang saya tidur di bawah, pakai kasur. Kalau sedang kurang sehat, saya juga pakai selimut. Sehabis shalat malam, biasanya ia membetulkan selimut saya.

Sewaktu mau ke Medan (Sabtu, 11 Juni), Abi cari-cari materi, tapi belum ketemu. Justru yang ketemu foto-foto lama. Ada foto Abi waktu masih muda, sedang ceramah. Lucu fotonya, Abi masih kurus. Lantas ia tanya saya, "Nai, kamu lihat foto saya ini naksir enggak?" Saya bilang sambil bercanda, "Enggak." (tertawa)

Pernah Abi dapat undangan, tulisannya kepada Doktor Rahmat Abdullah. Lantas ia bilang, "Nai, ikut saya, mau wisuda doktor." Abi itu suka bercanda. Di pengajian di Iqro (di Pondok Gede) hari Ahad lalu, mungkin itu terakhir Abi bercanda sampai orang tertawa gerrr. Abi meniru lawakan API, "Kata Ustadz Sanusi...Ustadz Sanusi yang mana? Ya... gitu deh"

Nama saya kan Sumarni, biasa dipanggil Marni. Tapi kata Abi nggak enak kalau manggilnya ‘Ni’. Digantilah sama dia huruf ‘i’ nya jadi huruf ‘y’, dipanggil ‘Nai’. Sejak menikah Abi panggil saya Nai. Awalnya saya heran, kok manggilnya Nai. Sewaktu tahu sebabnya, saya jadi tertawa.

Sama anak-anak juga sering bercanda, kalau dicandai sama anak, lantas dijawab lagi sama Abi. Anak-anak biasa kumpul di kamar kami, berdesakan di tempat tidur. (Mereka dikaruniai tujuh anak, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17), Nusaibatul Hima (15), Isda Ilaiha (13), Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhru Ahmadi, 7)

Makanan yang Abi suka salad sama tomyam. Terakhir, saya buatkan tomyam, tapi bumbunya Abi sendiri yang beli. Abi senang belanja bumbu, juga sabun, odol, sampai peralatan dapur, pembakaran ayam, gilingan bawang. Anak-anak juga sering nitip dibelikan sabun muka, bedak, sampai susu pelangsing. Kadang Abinya salah beli. Kata anaknya, "Abi, ini sih bedak buat Umi.". Pernah anaknya minta dibelikan minuman pelangsing, mungkin dicari di supermarket nggak ada, lantas Abinya belikan Tropicana Slim, karena kan ada tulisan slim-nya.

Saya dan Abi berbeda usia 9 tahun. Abi lahir tahun 1953, saya tahun 1962. Kami sama-sama asli Betawi. Abi lahir di Kuningan (Jakarta Selatan), saya di Cikoko (Jakarta Selatan). Mungkin karena perbedaan usia, sewaktu pergi haji ada jamaah yang tanya ke saya, "Ibu, maaf ya, dulu dikiranya Ibu anaknya Pak Ustadz." Sering juga orang bilang, "Kayak jalan sama pamannya." Sewaktu saya ceritakan ke Abi, ia bilang, "Kamu seneng deh kalau ada yang bilang begitu." (tertawa)

Abi bersama ibu dan bibinya mengkhitbah pada malam Kamis bulan Ramadhan 1984. Saat itu Abi mengajukan usul walimah bulan Syawal. Tapi ada seorang ustadz mengusulkan untuk nikah besok malamnya. Ada yang bilang, "Soal KUA urusan ana, tinggal terima surat aja." Akhirnya disetujui. Karena mendadak, sewaktu Abi dan keluarganya berangkat untuk nikah malam Jum’atnya, ada teman Abi yang tanya, "Ini mau ke mana sih?"

Abi dulu guru saya, sewaktu saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Roudhotush Sholihin di Cikoko (Ibunda Sumarni bertutur , "Terburu-buru terbirit-birit, guru kawin sama murid.") Setelah menikah, Abi tanya saya, "Nai, ingat nggak waktu sekolah dulu kamu ikut lomba shalat di atas meja." Waktu ikut lomba itu, saya baru kelas satu Madrasah Ibtidaiyah. Kebetulan, Abi jadi jurinya. Setelah menikah, Abi meledek, "Dulu saya pikir, ini anak kecil-kecil ikut lomba shalat."

Awal menikah kami tinggal di Kuningan, di rumah keluarga Abi. Di sana, saya dan beberapa teman mengaji rutin sama Abi. Masa itu pengajian rutin belum bisa terbuka. Maka kami mengaji di belakang rumah, gelap, dekat dapur. Pernah di tahun ’85-an, saat Abi mengajar ke Bogor, hujan turun lebat. Saya sama ibunya Abi khawatir. Ibunya kan sayang sekali sama Abi, ia berdo’a terus, "Ya Allah ya Tuhan, lindungi anakku."

Sejak menikah, kelihatan sekali Abi tidak mementingkan materi. Kalau nggak punya uang, ia tenang saja. Paling ia bilang, kalau habis, berarti rejeki mau datang lagi. Kalau nggak ada uang, kami pakai dulu uang simpanan buat sedekah. Begitu ada masukan, kami ganti. Kadang saya "ambil" dulu sama tukang sayur langganan.

Kalau kesal, Abi biasanya diam. Tapi jarang sekali. Sedangkan kalau marah lewat lisan, susah sekali mengingatnya, rasanya tidak pernah. Beberapa hari lalu, entah kesal atau tidak, tapi ia sempat diam. Awalnya bajunya yang digantung saya cuci. Biasanya kalau digantung memang akan dipakai lagi. Tapi karena nggak suka banyak baju digantung, saya cuci saja. Besoknya, mungkin ia mau pakai baju itu, tapi nggak ada. Dia tidak ngomong apa-apa, diam saja. Saya heran kok diam saja. Jangan-jangan baju itu mau dipakai. Cepat-cepat saya setrika lantas digantung lagi. Benar, ternyata baju itu langsung dipakai.

Abi juga tidak suka kalau saya ngomong agak keras. Pernah saya mau bawa anak ke dokter THT. Dia tanya, "Mau kemana?"Saya jawab mau bawa Isda ke dokter THT. Ditanya kembali, "Jenguk siapa?" Saya jawab, "Kan mau bawa Isda ke dokter." Mungkin nada bicara saya agak tinggi. Abi lantas diam.

Mungkin banyak yang tidak percaya, tapi Abi biasa juga menyewa VCD, tapi film-film filsafat saja. Kalau tayangan televisi, Abi sering gusar. Malah ia langsung telepon stasiun televisi, protes tayangan tidak mendidik. Dia juga bilang ke saya, "Kamu telepon atau tulis surat ke stasiun TV kalau tayangannya kamu nggak setuju." Maka telepon semua stasiun TV dia catat. Ditempel dekat TV.

Dia sering menyanyikan nasyid Ribathul Ukhuwwah. Pernah ia bilang, "Kita bikin grup nasyid yuk." Lagu-lagu lama, lagu ‘Tuhan’, ‘Sajadah Panjang’ sama ‘Rindu Rasul’-nya Bimbo, juga dia suka. Lagu yang ia suka biasanya dipilih, direkam tiga kali yang itu-itu saja. Sewaktu disetel, lagu yang keluar berulang-ulang yang ia suka saja (tertawa).

Belakangan ini meski kesehatan Abi menurun, tapi kesibukannya hampir tidak berkurang. Apalagi membaca buku, yang sehari-hari memang "pekerjaannya", sama sekali nggak berubah. Sambil tiduran saat sakit pun, dia tetap baca buku. Meski tidak bisa bangun, Abi minta tolong saya diambilkan kitab. Sampai perawat di rumah sakit melarang, "Pak jangan baca buku dulu, Bapak nggak boleh banyak pikiran." Tapi Abi bilang, "Kalau enggak baca buku saya malah tambah sakit."

Abi paling senang memberi hadiah buku. Belum lama ini saya dibelikan buku Ibu Satu Menit. Biasanya, buku yang ia hadiahkan dikasih tulisan dalam bahasa Inggris, misalnya for my beloved wife. Pernah saya mau baca kitab Riyadush Shalihin, dan mau fotokopi buat dibagikan ke teman-teman. Ternyata Abi langsung beli 10 Riyadush Shalihin. Dia tidak bilang apa-apa. Sewaktu saya lihat di meja, ada bungkusan tebal sekali. Ketika saya buka, isinya 10 kitab itu.

Ia memang paling sering belanja buku. Pergi ke mana yang dibeli buku-buku. Abi senang juga membacakan saya kitab, sambil tiduran. Tapi kalau membaca tulisan Abi terus terang saya kadang nggak paham, cuma saya nggak bilang saja (tertawa).

Sewaktu pulang haji, oleh-olehnya juga buku. Maka kamar tidur pun penuh buku. Kebanyakan bahasa Arab, karena Abi tidak suka terjemahan, kecuali buat perbandingan. Pesannya yang diulang-ulang, harus banyak membaca. Kalau saya tidak paham saat membaca kitab, Abi bilang, "Terus saja dibaca, jangan berhenti, nanti akan paham juga."

Sehabis qiyamullail, Abi sering diam lama di sajadah, lantas tilawah. Setelah itu, ia mengetik sampai shubuh. Maka saya terbayang-bayang terus saat tengah malam dia duduk di meja kerja. Saya ingat sekali ia bilang, "Saya dari muda udah mikirin umat." Banyak yang ia harapkan buat umat, sampai kadang ia sedih. Tuduhan-tuduhan teroris juga membuat sedih.

Pernah kami mendapat telepon "gelap". Misalnya, sewaktu pemilihan presiden lalu. Kebetulan yang mengangkat teleponnya Abi sendiri. Orang itu marah-marah dan bicara kasar sekali. Tapi Abi biasa saja. Ada juga sms seperti itu. Kalau lewat sms, biasanya ditelepon langsung sama Abi, tapi tidak pernah diangkat.

Sebenarnya, Abi tidak mau dicalonkan jadi anggota DPR. "Bukan di situ bidang saya," katanya. Dia benar-benar tidak sreg di DPR. Belakangan ia sering tanya, "Nai, kalau saya keluar dari DPR kamu bagaimana?" Bagi saya, anggota DPR atau tidak sama saja.

Dia sering bilang, di DPR orang lebih banyak memakai emosi. Argumennya banyak yang karena nafsu, bukan pemikiran. Debat panjang, tapi setelah itu tidak ada penyelesaian. Maka rumah (dinas DPR) juga nggak ditempati. Lagi pula anak-anak sekolahnya di Pondok Gede. Kalau dari Kalibata terlalu jauh. Pernah sewaktu Abi pulang malam, saya bilang, "Udah Abi tidur aja di rumah (di kompleks DPR) sana." Tapi Abi nggak mau. "Yah... enggak enak enggak ada kamu," katanya.

Pada anak-anak, sekarang saya sering bilang sejujurnya, "Umi masih bersemangat hidup karena ada kamu. Nanti Abi kecewa kalau Umi nggak bisa mendidik kamu." Thoriq akan masuk kuliah. Cuma dia bilang, "Mi, Thoriq kerja saja ya. Kalau enggak, nanti yang cari uang siapa." Tapi saya tidak ijinkan. Anak-anak harus sekolah dulu, soal rejeki insya Allah dimudahkan Allah.

Alhamdulillah, Hasnan, anak yang terakhir (kelas 1 SD), minatnya ke agama besar sekali. Kalau ada tugas hapalan qiroah, malamnya dia serius belajar. Seperti Abinya, dia senang membaca. Kadang dia mengikuti Abinya, baca kitab sambil tiduran, meski belum ngerti isinya. Kalau melihat dia begitu, saya sama Abinya sering tertawa.

Sebenarnya saya berharap anak-anak semuanya mendalami agama, menjadi ulama seperti Abinya. Setidaknya, mudah-mudahan ada di antara anak-anak yang bisa menggantikan Abinya. Abinya juga begitu harapannya. Sering ia bilang, "Kalau Abi udah nggak ada, kitab Abi siapa yang mau terusin baca nih?"

Kalau sedang jenuh, Abi hobinya membakar sampah. Dia cari yang tidak terpakai, lantas dibakar di samping rumah. Pernah malam-malam Abi mencari naskah, tapi nggak ketemu. Akhirnya kertas-kertas hasil bongkaran yang sudah nggak terpakai, dibakar malam itu juga. Pernah juga sudah siap mau bakar sampah, ternyata halaman udah dibersihkan penjaga sekolah (Iqro), akhirnya nggak jadi.

Saya ingat, Abi pernah bilang, "Insya Allah nanti kalau sudah tua, kita menginap di rumah anak-anak, bergiliran." Ia juga meledek saya, "Nai, nanti kamu kalau sudah tua marah-marah melulu deh."

Saya membayangkan memang akan hidup sampai tua sama Abi. Ternyata kehendak Allah lain. (terdiam)*****



0 komentar: