Ahmad Nawawy (Bang Nawi), Adik Ustadz Rahmat Abdullah.
Di antara orang yang sangat merasakah sentuhan Ustadz Rahmat, adalah adiknya sendiri, Ahmad Nawawy. Ia yang lahir tiga tahun setelah Ustadz Rahmat, benar-benar punya kenangan sangat mendalam dengan sang kakak yang selalu ia panggil Bang Mamak. Setelah ayah mereka tiada, Ustadz Rahmatlah yang menggantikan perannya sebagai ayah, sekaligus sebagai abang.
Kala itu, Nawawy kecil sudah terseret ke dalam kebiasaan minum minuman keras. Ia bahkan keluar SD sebelum sempat menamatkannya. "Saya ini bandel sejak kecil. Saya terjerumus ke miras sejak tahun 1973, berapa tahun setelah keluar dari SD di kelas empat. Terjerumusnya itu karena lingkungan, ingin nyoba-nyoba. Waktu itu anggur kolesom. Setelah itu minum arak. Jarang yang kuat, bahkan teman-teman itu suka dengan arak karena kadar alkoholnya 32 %, kalau anggur kolesom itu hanya 12 %," cerita Nawawy.
Dalam kurun yang tak singkat itu, ustadz Rahmat tidak pernah henti-hentinya berusaha, mengajak, menasehati dengan caranya yang penuh kasih, bersahabat, dan satu lagi, tidak pernah bosan. Ia ingin agar adiknya yang sangat dicintainya, benar-benar keluar dari semua jalan yang sangat dibencinya itu.
Ustadz Rahmat biasanya mengajak Nawawy yang tengah mabuk untuk pergi. Nawawy sendiri tidak pernah bisa menolak. Ia mengakui bahwa kala itu tak ada seorang pun yang bisa menghalangi ulahnya. Bahkan encingnya pun dilawan. "Saya selalu bilang, uang yang saya pakai kan uang saya, yang minum juga saya," kata Nawawy. Tapi kalau sudah didatangi Ustadz Rahmat. Ia merasa seperti dihipnotis. Ia pun naik ke atas motor tuanya.
Setelah itu Ustadz Rahmat membawanya jalan. Kadang ke Taman Ismail Marzuki (TIM). "Kalau mau pelarian, ke sini pelariannya. Ada drama, ada banyak lagi yang positif," nasehat Ustadz Rahmat kepadanya. Kadang ia juga dibawa ke Cikoko, ke tempat sebuah padepokan silat. Tidak berhenti sampai di situ, untuk menghindarkan pergaulan Nawawy dengan lingkungan, ustadz Rahmat memasukkannya ke kursus Pusgrafin (Pusat Grafika Indonesia). "Waktu itu namanya PGI, saya kursus beberapa bulan," kenang Nawawy.
Pernah suatu hari Nawawy menampar anak tetangga. Kakak ipar anak itu marah. Karena lebih besar dan tidak bisa melawan, akhirnya Nawawy mengambil pisau dan menunggu di depan rumahnya. "Setelah ustadz datang, ia menarik saya pulang. Saya pun menurut begitu saja."
Nawawy juga mengisahkan kejadian lain, "Saya pernah gebukin tiga orang di RT4/4. Tak lama saya diajak pulang ustadz. Katanya, ‘Luka tamparan kamu itu besok juga hilang tapi hatinya tidak bisa. Meskipun kamu minta maaf mungkin di depan dimaafin karena takut, tapi hati sangat membekas lukanya. Itu minta amal kamu di akherat, itupun kalau amalnya banyak.’ Ini kata-kata yang sangat membekas hingga saat ini."
Semua drama-drama hidup itu masih harus dijalani dengan segala upaya untuk bisa mencari nafkah. Di antaranya, melalui usaha sablon. Sebelumya, ayah mereka mewariskan usaha mesin cetak Hand-Press. Tetapi kemudian, mereka ingin menjalankan usaha sablon. Waktu itu masih langka. "Buku tentang sablon itu diterjemahkan ustaz Rahmat. Bukunya berbahasa Inggris. Belum ada terjemahannya. Karena kita ingin bisa nyablon maka dibelilah buku itu di Senen, Gunung Agung. Dan biasanya kita setelah buku ini diterjemahkan."
Usaha itu mereka namakan ARACO (Abdullah, Rahmah/Rahmat/Rahmi Company). Ustadz Rahmat lah yang biasa mencari order. Kesibukan baru mulai mengisi hari-hari Nawawy. Tapi pergulatan batin belum usai.
Kecintaan Ustadz Rahmat kepada adiknya tak pernah pupus. Meski getir, ia tetap mencintainya sepenuh hati, lebih dari sekadar cinta seorang kakak, tapi cinta seorang yang punya keyakinan, bahwa ia harus berbagi jalan yang sama dengan saudara kandungnya: jalan orang-orang beriman.
Makanya, segala cara ia lakukan. Termasuk menuliskan surat khusus, melalui pos, yang ia kirim dari Tebet, saat ia tinggal di daerah sana untuk sebuah keperluan.
Jakarta, 19 Rabi’ul Awwal 1399 H
16 Februari 1979 M
Kehadapan
Saudaraku A. Nawawy
Di
Jakarta
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Adalah kenyatan yang tidak bisa diingkari bahwa sampai hari ini seakan kita hidup sendiri-sendiri, jauh dan asing. Tak usah saya katakan apa yang menyebabkan kenyataan ini, tetapi bagaimanapun saya yakin bahwa antara kita masih ada ikatan betapapun lemahnya ikatan itu sekarang. Dan saya percaya tentu kau masih mengakui saya. ini salah seorang saudaramu, orang yang dekat dengan hatimu, seperti juga halnya kau menduduki tempat tersendiri dalam hatiku. Hanya sayang kita seperti orang-orang bisu, saya tak mampu mengungkapkan perasaan saya, betapapun perhatian saya untuk kemajuanmu, betapapun maklum saya terhadap minatmu untuk maju, betapapun ujian hidup yang kau hadapi.
Saya katakan bahwa saya adalah manusia juga. Dengan segala kelemahan, dengan segala kealpaan. Orang mungkin menuduh saya tak memperhatikan perkembangan keluarga, khususnya kau, adikku, tetapi saya menolak tuduhan itu. Iya, betapa lemahnya alasan saya. Semua itu tiada lain sebabnya kecuali karena saya hidup bagaikan dalam penjara, dalam belenggu yang mengikat sangat keras. Kekhayalan, cita-cita, ide baik dan saran-saran terbang pergi begitu saja, tanpa saya melahirkannya dalam bentuk kata-kata, apalagi dalam kenyataan.
Saya ingin kau memahami ini semua. Saya ingin kau memaafkanku yang sampai hari ini belum menunaikan kewajibanku kepadamu. Dan saya ingin kau melihat diriku sebagai orang yang sama-sama punya problem, punya persoalan, punya rasa sedih dan gembira, harapan, kekhawatiran dan berbagai rasa fitrah manusia. Dan dengan itu pula kuharap kau mau membagi duka. Bersama-sama memecahkan persoalan apa kiranya yang sedang kau hadapi, tanpa mencari sendiri, menanggungkannya dan melarikannya dengan caramu sendiri. Sebelum ini saya berada di puncak kebingungan, saya tak tahu apa yang harus kulakukan, apa yang harus kutuliskan, sementara jam terus berputaran mengurangi usia, kosong tanpa hasil apa-apa, selain kegetiran hidup, kepedihan yang menusuk hati. Suatu kekhawatiran yang tak tahu saya bagaimana bentuknya dan terhadap apa, telah merasuki jiwaku. Dia mengikutiku, kemana pergi, menggelisahkanku, mengejar-ngejar dan menuntut, menggugat suatu tanggung jawab. Saya tak mampu menggambarkan lebih jelas apa bentuk kekhawatiran itu. Saya Cuma bisa menghubungkan kekhawatiran itu pada dirimu, saya takut sesuatu menimpamu, menyusahkanmu dan merenggutmu.
Marilah kita menarik pelajaran dari masa lalu, menarik manfaat, mensyukuri kenyataan baiknya dan menghindari kenyataan ruginya agar tak terulang lagi. Saya yakin betapapun jauhnya kita selama ini, namun kau tentu tak menutup pintu untuk satu dua patah kata dariku sebagai tanda bahwa saya masih punya hati untuk memahami dan menghayati perasaan orang lain.
Ada sesuatu dalam diri kita yang sangat penting dan besar nilainya, yang sekalipun kita berdusta kepada dunia, namun tak bisa berdusta kepada-Nya. Itulah nurani, bashirah. Allah memberikan kita bashirah dan memberikan penjaga bashirah itu, yaitu iman. Dialah yang mampu membendung bisik-bisik selintas dari nafsu angkara. Sayang banyak orang menodai nuraninya sendiri, hingga suram dan tak bisa melihat lagi:
"Sesungguhnya mata (lahir) mereka tiada buta, tetapi hati yang dalam dada merekalah yang buta...." (Surat Al Hajj, XXII, ayat 46)
Marilah kita dengan sekuat kemampuan berkorban, baik waktu, perasaan, tenaga dan apa yang dapat kita korbankan demi hidupnya nurani, demi hidup yang lebih layak. Saya pikir adalah bijaksana bila saya menyerahkan kepadamu untuk mencari dan menyelidiki sendiri apa yang sedang saya rasakan tentang dirimu. Saya tak mampu menggambarkan, karena soal itu sangat abstrak, samar dan terjadi semata karena getaran perasaan halusku. Semoga baik baik sajalah hendaknya. Semoga kekhawatiran itu Cuma angan-angan, bukan kenyataan. Sekali lagi kukatakan, kau lebih tahu apa yang sedang kau hadapi, apa yang sedang menimpamu, dan apa kata hati nuranimu, selama hati nurani itu tidak disuramkan putus asa dan apatis, serta kekerasan hati.....
"Tetapi, manusia itu ada nurani (bashirah) dalam dirinya, betapapun dia melontarkan alasan-alasannya. " (Surat Qiyamah -LXXV- ayat 14-15)
Semoga kata-kataku mendapat tempat di hatimu. Kuharap kau jangan kecewa atas segala sikapku. Aku selalu membuka kemungkinan untukmu. Maafkan daku atas segala kealpaanku. Terimalah kebenaran darimanapun datangnya. Terima kasih, sampai jumpa.
Salamku,
Rahmat Rahmat Abdullah
Surat itu begitu membekas. "Ketika saya terima surat itu, saya menangis. Ayah sudah tidak ada, dan ustadz itulah sebagai ayah. Kata-kata dalam surat itu yang terkesan sekali. Saya tidak bisa lupa, ketika ia mengutip ayat Allah, ‘Bahwa manusia itu punya bashirah, meski ia menguraikan alasan-alasannya,’" kata Nawawy. Tak berlebihan, bila surat itu ia beri tanda jam berapa ia terima: pukul 13.30.
Beberapa bulan kemudian, Ustadz Rahmat kembali menulis surat, menuangkan segala perasaan hatinya tentang adiknya. Cinta, harap, cemas, dan segala yang teraduk-aduk tertumpah di sana. Dengan pengantar yang sangat menyentuh, ia kirimkan surat itu.
Jakarta, 16 Syawal 1399 H
8 September 1979 M.
Menjumpai seorang yang lahir dari benih sah ayah-bundaku
A. Nawawy Abdullah
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Aku tahu bahwa aku menyusun kata-kata seperti begini dalam masa ini dimana engkau mengikuti alur rasa dari jiwamu, sama dengan perang melawan arus yang melanda, betapa beratnya. Dan betapa mulianya, kuyakini.
Aku tak berhak memaksakan apapun kepadamu, dan memang itu tidak perlu. Masing-masing kita punya hati nurani, yang walaupun kita bisa mendustai manusia sedunia, namun kita tidak bisa mendustainya. Dengan itulah kita menimbang untung-rugi sebuah perjalanan. Hanya saja aku meminta kau sudi mendengarkan kata hatiku, memperhatikan sekadar harapanku, semoga ada gunanya bagi dirimu.
Adikku, aku tidak bisa mengatakan dengan pasti apa yang kau jalani sekarang ini. Kau lebih tahu. Mata orang banyak sekarang tertuju ke sebuah keluarga, keluarga kita, yang pernah menjadi titik pandang orang banyak. Terserahlah komentar mereka. Cuma satu hal yang harus kau perhatikan, bahwa kita hidup tidak sendirian di dunia ini. Ada tata aturan yang mengikat yang bila dilanggar mungkin akan terasa akibatnya sekarang juga, baik berupa kerugian kehormatan, kesehatan atau apa lagi yang bernilai. Masih segar dalam ingatan bagaimana musibah menimpa keluarga ini beberapa tahun yang lalu. Hampir sebuah masa depan lenyap begitu saja, hancur oleh tangan-tangan kotor orang-orang angkuh yang menganggap dirinya mampu melakukan banyak hal, mampu menjaga diri dari banyak kesukaran. Sampai detik ini akibat itu masih berlangsung. Dan bukan itu saja, berapa lagi korban yang sama berjatuhan.
Baru-baru ini seperti kau rasakan kengerian menghantui diriku, tentang sesuatu yang tidak kuperbuat, namun akibatnya akan kurasakan. Begini, maksudku... Kau tahu beberapa orang yang terlibat dalam kegiatan beberapa tahun lalu, dimana seorang anggota keluarga kita jatuh; kemana itu rekan-rekan "sependeritaan?" Mana tanggung jawab mereka? Mana itu kesetiakawanan? Mana pembelaan? Mereka terus dengan segala keangkuhan mempertontonkan perlawanan kepada Tuhan, seakan menentang kapan azab-Nya tiba. Aku takut mungkin kata-kataku tidak bernilai dalam pandangmu sekarang ini, tetapi aku ingin membuktikan bahwa akupun terus mengikuti perkembanganmu dengan hati yang luluh gelisah, kecewa. Aku ingin Tuhan menerima pengakuanku bahwa satu masa dari hidupku, pernah aku mengatakan sesuatu, atau menuliskan sesuatu yang merupakan suatu kewjiban, pahit. Jangan sampai jatuh lagi korban dalam keluarga ini. Ya, tak seorangpun merasa dirinya bakal celaka oleh tindakannya dan dengan angkuhnya dia berbuat, seakan kemarin tidak ada seorang teman yang mati dengan usus terbakar alkohol, atau otak rusak oleh asap celaka.
Kau tak bisa mengatakan bahwa kau menderita sendirian, menanggung semua itu seorang diri. tidak. Kau ingat bagaimana susahnya kita semua karena musibah yang menimpa seseorang dari anggota keluarga. Kemana itu keangkuhan, kebanggaan kepada kekuatan badan dan akal.? Aku kehilangan banyak hal dalam hidup ini. Harapanku, jangan engkau mengikuti lagi jejak lama yang telah terlalu banyak meminta pengorbanan. Belum terlambat. Tegakkan dengan pribadi yang jantan., tak ada gunanya menghindari kenyataan hidup dengan berlari ke garis khayal, dengan melawan hati nurani dan melontarkan alasan kepada lingkungan, situasi. Ciptakan kesempatan, jangan dinanti atau menyerah. Aku merasa bahwa sekarang ini akupun tak berharga lagi dalam pandanganmu, biarlah, aku tak mengharapkan itu semua, hanya pintaku jagalah dirimu. Jiwaku menjerit saat ini, aku tahu kau tak mendengar jeritan itu, tak merasakan hatiku yang luluh, gelisah, kengerian bercampur baur menjadi satu. Apakah sepanjang hidupku aku hanya harus melihat ketegangan demi ketegangan, kesombongan orang-orang yang begitu enaknya menyeret saudaraku ke kancah dunia mereka, lalu melemparkan korban itu untuk kami pikul dengan segala hina yang mencoreng muka, derita yang tak tentu bentuknya...
Semua nasehat-nasehat itu ia sampaikan sepenuh perasaan, segenap jiwa dan dengan seluruh cinta. Tak cukup sampai di situ. tahun 1982, Nawawy diajak mengaji secara intesif dalam sebuah halaqoh oleh Ustadz Rahmat. Tetapi ia tidak mengajak secara langsung. Ia menyuruh orang lain, Nurdin, seorang guru SMA untuk mengajaknya. Nawawy mulai ikut. Tetapi belum berjalan dengan baik. Ia mulai terpengaruh lagi ke kebiasaan lamanya. Tapi keinginan untuk berubah semakin menguat.
"Apalagi beberapa waktu itu saya sering menyaksikan teman-teman saya mati diujung peluru petrus. Ada namanya Agus Menteng Atas dipetrus, Jali juga dipetrus. Saya memang tidak ada kriminalnya tapi dianggap gembong karena minum. Dan saya itu punya prinsip lebih baik menjadi kepala semut dari pada terjajah, jadi saya menjadi pemimpin di kalangan anak-anak itu. Ustaz bilang sama saya, ‘Kalau antum mati di medan jihad, antum mati karena kedzaliman, saya ikhlas sebagai kakak kamu. Tapi kalau karena miras atau narkoba saya tidak ridha,’" kata Nawawy mengenang.
Beberapa tahun sesudah itu Nawawy benar-benar berhenti total dari minuman keras. "Kalau konsistenya ngikutin ustadz itu sekitar tahun 90 akhir. Untuk menguatkan tekad itu saya juga berusaha selalu puasa Senin-Kamis. Ini cara yang paling ampuh untuk meninggalkan semuan itu, termasuk juga dengan menghindari teman lama. Kalau tidak ikut pengajian intensif itu, belum tentu saya seperti sekarang ini," tambah Nawawy.
Hari-hari sesudah itu adalah persaudaraan dua anak kandung, yang tidak saja diikat oleh tali darah, tapi juga kasih sayang atas dasar iman. Kasih sayang ustadz Rahmat tak pernah habis. Terlebih bila sekadar soal finansial. "Kalau soal bantuan, itu kapan aja dari masih muda tidak pernah lupa bahkan setelah nikah juga. Pada saat saya meminta bantuan untuk nikah belia sangat girang sekali. Saya nikah hanya modal beberapa ribu saja selebihnya ditanggung Ustadz. Maskawin dari ibu saya lima geram emas.
"Kepada ustaz itu saya tidak pernah minta. Ini juga didikan Ustadz sendiri, jangan minta kepada manusia tapi mintalah kepada Allah yang Maha Kaya. Makanya kalau saya butuh bantuan tidak minta tapi dengan redaksi memaparkan masalah. Saya juga paham kalau ustaz tidak punya duit dari masIh bujangan. Tapi Ustadz kalau punya uang sedikit dan kebetulan saya ada beliau tidak mau nerima. Beberapa tahun yang lalu kebetulan beliau tidak punya uang untuk membetulkan tempat tidurnya yang patah. Saya yang kasih uang melalui istrinya melalui istri saya. Dengan cara ini Ustadz tidak bisa menolak. Itupun karena tempat tidur itu sudah diperbaiki dan sudah terjadi.
Nawawy telah memilih jalan barunya. Merajut cita-cita jauhnya. "Cita-cita saya, ingin mati syahid di jalan Allah dan itu semoga Alah berikan. Seperti Khalid sendiri meninggalnya di pembaringan padahal maunya di mendan perang. Istilahnya itu cita-cita. Yang kedua, saya ingin meninggal dalam kedaan puasa. Apakah Senin-Kamis atau pun pada ayyamul bidh. Meski prosesnya jatuh bangun, alhamdulilah dalam sebulan itu bisa sebelas hari puasa. Selain saya juga ingin kembali untuk bisa konsisten membaca Al Qur’an satu juz sehari, seperti yang terjadi beberapa tahun lalu."
Pengaruh orang yang sangat mencintainya begitu kuat. "Keperibadian Ustadz yang sang berbekas pada saya itu, beliau tidak pernah lepas wudhu. Alhamdulillah saya beberapa tahun ini saya selalu wudu, shalat dua rakaat. Saya tahu Ustadz melakukannya. Saya tidak pernah disuruh. Dia bercerita tentang Bilal yang selalu melakukan itu."
Lika-liku itu tentu punya tempatnya sendiri di relung kenangan masa lalu. Tapi yang pasti ia telah menempa sepotong jiwa untuk mendapatkan karunia hidayahnya. "Semua perjalanan panjang itu itu menanamkan kelembutan yang sangat pada diri saya. Padahal saya itu dulunya sadis. Kalau ngadu ayam dan kalah, ayam orang itu saya cekik dan banting. Sekarang saya nyakitin semut saja tidak mau," kata Nawawy menerawang.
Sentuhan cinta itu telah menampakkan buahnya. Meski jalan belum selesai, tapi setidaknya Nawawy telah merasakan betapa indahnya kasih sayang tulus seorang abang, ‘ayah’, dan saudaranya seiman: ustadz Rahmat Abdullah.**
Ahmad Zairofi AM & Azhar Suhaimi
0 komentar:
Posting Komentar